TEMPO.CO, Ohio - Bedasarkan pantauan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), kematian akibat bunuh diri lebih banyak ketimbang kecelakaan mobil atau cedera. "Orang yang melakukan bunuh diri percaya bahwa mereka lebih baik mati daripada menelan keputusasaan dan rasa sakit," kata John Campo, kepala divisi psikiatri dan kesehatan perilaku di Ohio State University Wexner Medical Center, seperti dikutip dari Livescience.
Namun tahukah Anda bahwa bunuh diri ternyata menular? Menurut Campo, bunuh diri bisa menular melalui sugesti mental seseorang. Karena itu, dia menyarankan untuk merehabilitasi mental anggota keluarga lain setelah ada anggota keluarga yang melakukan bunuh diri.
Campo mengatakan, "Orang dengan riwayat keluarga bunuh diri, trauma masa kecil, dan mengidap gejala agresif impulsif juga berpotensi untuk bunuh diri."
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan mental. Lebih dari 90 persen orang yang bunuh diri tercatat pernah mengalami depresi dan gangguan bipolar.
Selain dua bentuk gangguan mental tersebut, ada beberapa bentuk lain yang berpotensi mendorong seseorang melakukan bunuh diri, yakni perasaan putus asa, susah tidur, panik setiap hari, isolasi sosial, sifat cepat marah, dan perasaan terbebani.
National Alliance of Mental Illness (NAMI) juga mencatat kondisi lain yang mendorong seseorang menghabisi hidupnya sendiri. Salah satunya ialah penyalahgunaan zat kimia, seperti narkoba dan alkohol. Pada 2009, alkohol dan heorin menjadi pendorong utama bunuh diri warga Amerika.
Pada 2013, CDC mencatat 41,1 ribu lebih kasus bunuh diri di Amerika. Sedangkan tahun 2014, setidaknya ada 8,3 juta orang dewasa yang dilaporkan memiliki pikiran untuk melakukan bunuh diri.
LIVESCIENCE | AMRI MAHBUB