TEMPO.CO, Malang - Sekelompok mahasiswa dari Universitas Brawijaya Malang menawarkan solusi dari limbah produksi batik yang umumnya menggelontor dan mencemari sungai-sungai. Mereka menciptakan alat pengolah limbah cair industri batik yang diklaim memiliki kelebihan yakni, ramah lingkungan.
Setelah uji coba, proses pengolahan limbah dengan alat yang diberi nama Platinum Inert Electrolysis Technology And Activated Carbon itu menghasilkan gas. Gas tersebut bisa dimanfaatkan untuk kompor. "Lebih efektif dan efisien," kata satu dari anggota kelompok mahasiswa itu, Agus Setyawan, Kamis 18 Juni 2015.
Agus bersama empat rekannya, yakni Juli Erwanda, M. Doddy Darmawan, Natalia Simanjuntak, dan Rahma Wati Pertiwi membuat alat itu bekerja dengan cara menyerap logam berat. Limbah cair batik memang biasa mengandung zat berbahaya bagi kesehatan seperti tembaga (Cu), Timbal (Pb), Krom (Cr), dan Seng (Zn).
"Limbah itu mengancam biota air dan mengurangi unsur hara tanah pula," kata Agus menerangkan.
Langkah kerjanya, air limbah dimasukkan ke dalam tabung elektrolis, yang terhubung dengan platina dan besi antikarat. Keduanya dihubungkan dengan arus listrik dengan tegangan 50 volt.
Proses dilakukan selama 120 menit, selanjutnya katup dibuka dan air limbah dialirkan ke absorben. Diproses selama 10 menit, katup absorben dibuka, air limbah siap dibuang langsung ke saluran air. "Proses pemisahan dari zat-zat berbahaya membutuhkan waktu dua jam, tegangan 50 volt dan kecepatan pengaduk 40 RPM," katanya.
Stainless steel, Agus menerangkan, berfungsi mengendapkan logam berat, sedangkan karbon aktif untuk mereduksi limbah yang belum tereduksi pada tabung elektrolisis. Hasilnya limbah cair berubah berwarna bening.
Seorang perajin batik rata-rata memproduksi tiga lembar batik setiap pekan. Setiap perajin menghasilkan 50 liter limbah cair. Sehingga dalam sebulan menghasilkan 200 liter. Limbah tersebut biasanya tak diolah dan dibuang ke sungai.
Sementara itu jumlah perajin batik terus bertambah. Total jumlah perajin batik di Indonesia sekitar 50 ribu, sementara di Malang 230 perajin. Sehingga volume limbah batik dianggap sangat besar.
EKO WIDIANTO