TEMPO.CO, Jakarta - Gerhana matahari total di Indonesia ternyata sudah direkam sejak lama. Malah, saat gerhana 18 Mei 1901, salah satu catatan datang dari Raden Ajeng Kartini, pejuang emansipasi perempuan pada zaman kolonial.
Kartini mencatat terjadinya gerhana matahari di Jawa dalam surat yang ia tujukan kepada Stella Zeehandelaar, rekan korespondensinya di Belanda. Dalam surat tertanggal 20 Mei 190 itu Kartini menulis dalam bahasa Belanda, "Pada 18 Mei, ilmuwan dari seluruh dunia datang ke Jawa, untuk mengamati sang gerhana."
Sayangnya, tulis Kartini, "Malang sekali, di sini kami tak bisa melihatnya sama sekali karena cuaca buruk. Hari berawan dan hujan turun. Tapi Bapak senang karena turunnya hujan menyegarkan tanah. Kata Bapak, celakalah kalau hujan ini tidak turun, sebab kesejahteraan para petani bersumber di tanah."
Sebetulnya, surat sepanjang tujuh halaman itu tak semuanya berisi tentang gerhana matahari. Kartini lebih banyak menceritakan kondisi terbaru perempuan Rembang dan Jepara, serta sedikit soal keluarganya.
Kepada Ella--sapaan karib Stella--itu, Kartini menulis, kerap menulis pandangannya mengenai kondisi sosial yang berlaku saat itu. Terutama kondisi perempuan pribumi Nusantara. Mayoritas suratnya kepada Ella berisi curahan hati tentang ambisinya untuk mengembangkan diri para perempuan Jawa.
Kurang lebih itulah isi surat Kartini tertanggal 20 Mei 1901 kepada Ella. Meski dia hanya menulis satu alinea tentang gerhana, setidaknya ada catatan kondisi dan cuaca saat terjadinya gerhana 18 Mei 1901. Dan, yang terpenting adalah antusiasme masyarakat Jawa saat itu yang sangat ingin melihat gerhana matahari tapi terhalang cuaca.
Pada 9 Maret 2016 mendatang, gerhana matahari total kembali akan melintasi Indonesia. Kali ini hampir seluruh wilayah Nusantara dapat melihat fenomena alam 18 tahunan ini.
AMRI MAHBUB