TEMPO.CO, Jakarta - Penanaman kembali dua juta hektare lahan gambut Indonesia membutuhkan biaya yang tak sedikit. Bank Dunia (World Bank) memperkirakan Indonesia membutuhkan dana mencapai US$ 2 miliar.
“Itu pun masih biaya restorasi alam dan tanah saja, belum termasuk pemulihan kerusakan sosial,” kata Spesialis Lingkungan Bank Dunia, Ann Jeannette Glauber, di Jakarta pada Kamis, 25 Februari 2016. Total keseluruhan, menurut dia, bisa mencapai hingga US$ 20 miliar; dan dalam jangka waktu yang tak sebentar.
Glauber mengatakan Indonesia memang dapat meminta bantuan pada donor asing. Namun prosesnya tak semudah itu. Kebanyakan dana iklim yang disediakan donor multilateral, termasuk World Bank, membutuhkan pembuktian keberhasilan proyek terlebih dahulu. Indonesia masih perlu merogoh kocek sendiri dulu sebelum mendapat bantuan dari negara lain.
Magda Adriani, Riset Analis Ekonomi Bank Dunia, mengatakan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan jumlah besar saat ini masih sulit. Sejak tahun lalu, perekonomian Indonesia tengah memburuk lantaran harga komoditas yang anjlok. Tahun 2016 ini pun, berdasarkan analisis Bank Dunia, tak menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
“Tapi masih bisa diatasi dengan memangkas alokasi dana yang kurang penting dan diubah jadi modal lingkungan,” kata Magda. Salah satu dana tak perlu yang dapat dialokasikan untuk sektor lingkungan adalah dari insentif sawit.
Selain itu, ketimbang berfokus hanya pada restorasi semata, Bank Dunia menyarankan pemerintah untuk menjaga lahan gambut yang masih tersisa. Spesialis Manajemen Risiko Bencana Bank Dunia, Iwan Setiawan, mengatakan biaya konservasi jauh lebih murah ketimbang biaya pemulihan.
“Pemerintah harus cepat menegakkan hukum dan aturan supaya lahan-lahan ini tak terlanjur hancur,” katanya. Perlu ada sistem pengelolaan dan pemanfaatan yang tegas dan jelas agar kejadian Juni-Oktober tahun lalu tak terulang lagi.
Bank Dunia menilai, bila tak ditindak dengan tegas, kebakaran hutan akan menyumbang banyak kerugian bagi perekonomian Indonesia. Kebakaran hutan yang terjadi di 8 provinsi pada akhir 2015 memberikan kerugian hingga US$ 16,1 miliar dan mengakibatkan penurunan pendapatan domestik bruto (PDB) 3-4 persen pada provinsi yang lahannya terbakar.
URSULA FLORENE