TEMPO.CO, Surabaya - Avian Influenza Research Center (AIRC) Universitas Airlangga meneliti sampel virus H5N1 atau flu burung yang mematikan hampir 6.000 unggas di Kabupaten Banyuwangi dan Lamongan, Jawa Timur, awal Maret ini. Mutasi disebut sebagai salah satu kemungkinan penyebab kembali munculnya virus itu di Indonesia.
“Virus flu burung ini mungkin bentuk mutagenis. Di Indonesia, kemungkinan penyebabnya ialah penggunaan vaksin yang tidak terkendali,” kata Kepala AIRC Unair C.A. Nidom saat dihubungi, Rabu, 16 Maret 2016.
Nidom menjelaskan, penggunaan vaksin berlebihan menyebabkan virus di dalam vaksin kembali menguat. Mutasi itu membuat virus menyerang hewan-hewan lain yang tidak tervaksinasi.
Karena itu, Nidom dan tim mengambil sampel hingga tingkat pasar tradisional untuk mengecek perkembangan virus. Di Kabupaten Lamongan, misalnya, tim AIRC Unair mengambil 20 spesimen sampel dari tubuh penjual unggas di pasar tradisional dan peternak ayam. “Kami akan menganalisis sampai seberapa jauh perubahan atau mutasinya. Termasuk apakah ada potensi virus untuk berubah pindah ke manusia,” ujarnya.
Sebaliknya, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur mengklaim telah mengawasi secara penuh vaksinasi, termasuk vaksin flu burung. "Pemerintah sudah punya Badan Pengujian Mutu Obat Hewan untuk memonitor kualitas vaksin,” tutur Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Iswahyudi.
Selain itu, menurut dia, vaksin yang beredar harus sudah terdaftar. “Kalau tidak, vaksin itu ilegal.”
Sebelumnya, lebih dari 5.000 ekor unggas jenis ayam dan itik mati karena terjangkit virus H5N1 di Dusun Wringinagung, Desa Sumberejo, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi. Di Desa Sembung, Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan, ada 610 ekor unggas yang mati akibat flu burung. Seorang peternak di Banyuwangi untuk sementara diperiksa karena diduga terjangkit virus ini.
ARTIKA RACHMI FARMITA