TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti matahari dan antariksa Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Rhorom Priyatikanto, mengatakan fenomena gerhana bulan sebagian yang terjadi pada 23 Maret 2016 terlalu kecil signifikansinya untuk dilihat dengan mata.
Menurut Rhorom, di Indonesia bagian barat, fenomena gerhana bulan dimulai pada pukul 16.36 dan mencapai puncaknya pada pukul 18.34. "Tingkat penumbranya hanya mencapai 77 persen," katanya saat dihubungi, Rabu, 23 Maret 2016.
Rhorom mengatakan fenomena gerhana bulan ini hanya bisa dilihat apabila suatu tempat berada dalam cuaca yang cerah. Penampang gerhana bulan di Sumatera dan Sulawesi besar kemungkinan bisa dilihat. "Tergantung cuacanya, kalau di Jawa sulit karena cenderung berawan," ujarnya.
Dia menjelaskan, gerhana bulan terjadi karena garis sumbu matahari, bumi, dan bulan segaris. Gerhana ini berhubungan dengan gerhana matahari total pada 9 Maret lalu. "Gerhana matahari kemarin sama saja bulan baru, 15 hari kemudian seharusnya bulan purnama," tuturnya.
Meski sulit dilihat dengan mata telanjang, menurut dia, fenomena gerhana bulan bisa dijadikan obyek penelitian dan edukasi. Namun gerhana kali ini dinilai terlalu lemah. "Belum lagi cuacanya harus cerah," katanya.
Gerhana bulan terjadi saat matahari-bumi-bulan sejajar, dengan bumi berada di antara matahari dan bulan. Ketika gerhana bulan, bumilah yang menjadi penghalang bagi cahaya matahari untuk mencapai bumi.
Bulan bisa ditemukan dengan mudah di langit timur dan, yang perlu diingat, dalam gerhana penumbra, perubahan yang terjadi agak sulit dikenali. Perubahan itu berupa berkurangnya cahaya bulan dan baru bisa dikenali perbedaannya setelah dua pertiga piringan bulan memasuki penumbra bumi.
ARKHELAUS WISHNU