TEMPO.CO, Jakarta - Laporan yang dirilis WaterAid, lembaga nirlaba Inggris, saat memperingati Hari Air Sedunia pada 22 Maret lalu, menyebutkan sulitnya mendapat air bersih yang layak dan murah. Hal ini, menurut mereka, menjadi masalah utama untuk mengentaskan kemiskinan dan wabah penyakit.
Akibat tak tersedianya air bersih, risiko gangguan kesehatan hingga potensi kelahiran prematur dapat meningkat. The Independent memperkirakan satu dari lima bayi meninggal dalam bulan pertama kehidupan mereka karena sepsis atau infeksi—masalah kesehatan yang sebenarnya bisa dicegah dengan air bersih dan pola hidup higienis. Diperkirakan 42 persen dari semua rumah sakit di wilayah Sub-Sahara Afrika tak memiliki akses air bersih.
Secara global, penyakit diare akibat mengkonsumsi air kotor dan sanitasi buruk adalah pembunuh anak-anak terbesar kedua setelah pneumonia. Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pada 2015 menyebutkan diare membunuh 315 ribu anak setiap tahun. Pekan lalu, UNICEF menyebutkan masalah akses air bersih semakin parah di lokasi konflik bersenjata, seperti Suriah dan Afganistan.
Krisis air bersih paling mencekik kaum miskin. Banyak yang beranggapan kemiskinan membuat mereka tak sanggup membeli air. Ironisnya, dalam kondisi absolut, orang miskin justru membayar jauh lebih mahal ketimbang orang kaya untuk menikmati air. “Jika Anda hidup di daerah kumuh di Nairobi, Kenya, Anda harus membayar satu meter kubik air lebih mahal ketimbang mereka yang tinggal di Manhattan,” kata Henry Northover, pembuat kebijakan di WaterAid.
WaterAid menyebutkan lebih dari 40 persen penduduk di 16 negara tidak memiliki akses terhadap fasilitas air, bahkan sumur sekalipun. Komunitas marginal harus mengumpulkan air dari kolam dan sungai serta menghabiskan sebagian besar pendapatan harian mereka untuk membeli air bersih. “Meski hamil sembilan bulan, saya harus mengambil air sangat jauh dari desa untuk kebutuhan keluarga,” kata Zosy, perempuan 35 tahun yang tinggal di Analamanga, Madagaskar.
Studi WaterAid juga menunjukkan Papua Nugini memiliki persentase penduduk tanpa air bersih tertinggi. Ada 4,5 juta orang atau 60 persen warga negara tetangga Indonesia itu yang terpaksa hidup tanpa akses air bersih, seperti keran publik, sumur, penampungan air hujan, atau saluran air dalam pipa ke permukiman.
Orang miskin di Papua Nugini menghabiskan 1,84 pound sterling atau lebih dari separuh pendapatan harian mereka untuk menikmati air dengan jumlah sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Adapun orang-orang miskin di Madagaskar menghabiskan hampir separuh pendapatan harian mereka untuk mendapat air bersih dalam jumlah cukup.
India menjadi negara dengan penduduk terbanyak yang tak bisa mengakses air bersih. WaterAid menyebutkan hampir 76 juta warga India hidup dengan pasokan air seadanya. Indonesia ternyata juga masuk daftar tersebut di peringkat ke-6 dari 10 negara. Ada sekitar 32 juta orang di Indonesia hidup tanpa air bersih.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan ketersediaan dan distribusi air yang cukup bisa mengubah hidup seseorang. Air berpengaruh besar terhadap perkembangan manusia, lingkungan, dan perekonomian. Menurut Ban, orang-orang yang sulit memperoleh air dan sanitasi biasanya tidak memiliki akses layanan kesehatan dan pekerjaan yang stabil.
“Pemenuhan dasar atas air, sanitasi, dan layanan yang bersih di rumah, sekolah, dan tempat kerja membuat ekonomi menguat karena ditopang oleh populasi dan tenaga kerja yang sehat dan produktif,” kata Ban.
WATERAID | UN.ORG | UNICEF | THE GUADIAN | THE INDEPENDENT | IBTIMES | GABRIEL WAHYU TITIYOGA