TEMPO.CO, Canterbury - Poster bahaya merokok yang mengancam nyawa tak membuat perokok berhenti mengisap asap. Sebuah studi menunjukkan, kecaman dan permusuhanlah yang membuat perokok kapok.
Pada 2008, Inggris menjadi negara pertama di Eropa yang mengharuskan foto dampak negatif merokok ditempel bersama poster tersebut. Kebijakan ini ditempuh dengan asumsi ketakutan mampu menggugah para perokok berhenti merokok.
Dua ahli psikologi dari Canterbury Christ Church University, Inggris, Masi Noor dan Caroline Wood, tak sependapat dengan asumsi tersebut. Mereka merancang eksperimen dengan pendekatan banyak model. Dalam eksperimen ini, mereka menerapkan faktor-faktor yang selama ini membuat perokok berpikir ulang untuk meneruskan kebiasaannya mengisap asap.
Ada empat faktor yang dianggap membuat perokok kapok. Pertama, rasa takut yang dihadirkan bersama poster peringatan bahaya rokok dan ancaman kematian yang menyertainya. Kedua, proses informasi, menyangkut apakah seseorang terpengaruh oleh informasi. Ketiga, sifat munafik orang yang melakukan kampanye antirokok. Keempat, keinginan seseorang mencapai tujuan tertentu.
"Pendekatan multimodel adalah yang pertama. Hasilnya, bisa jadi bahan pertimbangan kampanye berhenti merokok," ujar Wood dalam laman situs universitas.
Setelah mengutak-atik empat faktor tersebut, psikolog sampai pada satu kesimpulan, yaitu perokok berhenti merokok jika mendapat perilaku negatif dari orang di sekitarnya. "Eksperimen memperlihatkan, keinginan berhenti merokok timbul dari keluhan orang lain atas perilaku perokok," ucap Noor.
Kampanye antirokok, yang disampaikan melalui poster, memang tak berpengaruh banyak bagi perokok. Namun, psikolog menilai, langkah ini cocok untuk pencegahan. Anak muda dan orang yang belum merokok cenderung berpikir ulang untuk mulai membeli dan mengisap rokok setelah melihat poster menyebutkan racun berbahaya terkandung di dalam rokok.
CHRIST CHURCH UNIVERSITY | LIVE SCIENCE | AMRI MAHBUB