TEMPO.CO, Jakarta - Pagi, 26 April 1986, reaktor nomor empat pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Chernobyl di Kota Pripyat meledak. Berselang 36 jam kemudian, seluruh penghuni kota itu, yang sebagian besar bekerja di sana, dievakuasi. Tak lama, Pripyat pun menjadi kota mati.
Tiga dekade berlalu. Semak, tanaman merambat, dan pepohonan menguasai bangunan, apartemen, serta jalanan yang ditinggalkan. Hewan-hewan kembali terlihat di sekitar Chernobyl yang terletak di utara Ukraina itu. Tapi manusia tak diizinkan menghuni kota itu lagi.
Ledakan pembangkit listrik bernama Vladimir Ilyich Lenin ini menjadi mimpi buruk bagi Uni Soviet. Sekitar 190 ton bahan radiasi lolos dari reaktor, mencemari wilayah Belarusia, Ukraina, Rusia, hingga Eropa. Belarusia menerima dampak terparah. Seperempat wilayah terkontaminasi radioaktif.
Ini bencana reaktor nuklir terparah dalam sejarah manusia dalam hal biaya dan dampak yang ditimbulkan. Bencana Chernobyl masuk kategori 7, tertinggi dalam International Nuclear Event Scale. Bencana lain yang masuk kategori itu adalah bocornya PLTN Fukushima Daiichi di Jepang pada 2011.
Akibat bencana itu, 31 orang meninggal dan area dalam radius 30 kilometer dari Chernobyl menjadi zona terlarang. Denis Kovalev, Minister-Counsellor Kedutaan Besar Republik Belarusia, mengatakan ratusan ribu orang diungsikan setelah ledakan. Lahan pertanian rusak dan tak layak ditanami lagi.
“Kota dan desa mereka, seluruh fasilitas dan bangunan, dihancurkan karena tak mungkin lagi direhabilitasi,” kata Kovalev dalam diskusi peringatan 30 tahun bencana Chernobyl di kantor Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Seolah tak jera akan dampak bencana nuklir, Belarusia malah membangun PLTN berkapasitas 2.400 megawatt. Alasannya, ada kebutuhan energi besar. Fasilitas senilai US$ 9 miliar itu beroperasi pada 2018. “Energi nuklir prioritas bagi kami,” kata Andrei Trusov, Atase Media Kedutaan Besar Republik Belarusia.
Akibat radiasi Chernobyl, Associated Press melaporkan bahwa susu sapi dari peternakan sekitar 2 kilometer dari pembatas zona terlarang tercemar mengandung isotop strontium-90. Kadarnya 37,5 becquerel, 10 kali lebih tinggi dari ambang batas aman. Isotop ini diyakini sebagai penyebab kanker dan penyakit kardiovaskuler.
Andrei Trusov, atase bidang politik, sains, teknologi, dan media massa Kedutaan Besar Republik Belarusia untuk Indonesia, mengatakan situasi seperti itu terjadi 20-30 tahun silam. “Kami sudah berhasil menanganinya,” kata Trusov, menjawab pertanyaan Tempo, pekan lalu.
Efek bahaya radiasi membuat PLTN banyak ditentang, termasuk di Indonesia. Meski begitu, untuk keperluan riset, Indonesia memiliki tiga reaktor, yakni di Bandung, Serpong, dan Yogyakarta. “Untuk riset dan produksi radioisotop,” kata Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto, saat berkunjung ke kantor Tempo, pertengahan April lalu.
Batan akan membangun fasilitas riset Reaktor Daya Eksperimental (RDE) berkapasitas 10 megawatt di Serpong dan mulai beroperasi pada 2021. Meski mengoperasikan reaktor nuklir, menurut Djarot, Batan tak bisa membangun reaktor komersial. “Batan hanya lembaga riset, tak bisa membangun dan mengoperasikan PLTN,” katanya.
Lantas, bagaimana pendapat masyarakat soal PLTN? Dalam survei tahun lalu, 75 persen dari 4.000 responden setuju ada PLTN di Indonesia. Menurut Djarot, mereka frustrasi dengan ketersediaan listrik saat ini. “Ketika ditawarkan bahwa nuklir bisa menghasilkan listrik, mereka setuju,” kata Djarot.
Wilayah yang dinilai cocok untuk membangun PLTN adalah Bangka Belitung. Namun warga di sana masih banyak yang khawatir akan bahaya nuklir. “Banyak yang bilang, kalau bisa jangan dekat daerah permukiman mereka.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA