TEMPO.CO, Dunedin - Terrie Moffitt dan Avshalom Caspi benar-benar psikolog yang telaten. Dua peneliti dari Institute of Psychiatry di King`s College London ini mengumpulkan data 1.037 anak yang lahir pada 1972-1973 di Dunedin, Selandia Baru.
Data itu menjadi bagian dari Studi Longitudinal Dunedin yang terkenal. Survei multi-faktor ini terus berlangsung, yang melibatkan 1.037 warga Selandia Baru sebagai sampelnya.
Tim peneliti menggunakan data itu untuk proyek Dunedin Multidisciplinary Health and Development Study. Temuan studi ini makin menguatkan bukti dampak negatif penggunaan narkoba. Ternyata, remaja yang menggunakan ganja secara teratur menderita kerusakan jangka panjang pada otak mereka.
"Usia ketika memakai ganja dan perkembangan otak menjadi faktor kunci," kata Madeline Meier, peneliti pasca-doktoral Duke University di Durham, yang menjadi koordinator tim peneliti. Hasil riset ini diterbitkan dalam PNAS edisi online.
Kesimpulan itu diperoleh setelah mereka menggunakan data Studi Longitudinal Dunedin yang memuat hasil tes intelligence quotient (IQ) ketika kanak-kanak dan remaja dari responden. Selain itu, dilakukan uji indeks neuropsikologi dan diteliti perilakunya, seperti pemakaian obat-obatan.
Pada usia 38 tahun, para responden mengikuti tes psikologis guna menilai memori, kecepatan pemrosesan, penalaran, dan pemrosesan visual. Mereka menemukan bahwa responden yang ketagihan ganja kala remaja, hasil tesnya, lebih buruk ketimbang yang tidak menggunakan marijuana itu.
Selain tes, para peneliti mewawancarai teman dan kerabat responden. Mereka menemukan bahwa responden yang ketagihan ganja ketika remaja, ternyata kurang perhatian dan fokus serta sering lupa kala melakukan tugasnya.
Dari 1.037 responden, sekitar 5 persennya adalah pecandu ganja ketika masa remaja. Mereka menggunakan ganja lebih dari sekali dalam seminggu sebelum usia 18 tahun. Pada kelompok ini terlihat perubahan skor IQ pada saat usia 13 dan 38 tahun. Rata-rata terjadi penurunan skor 8 poin di kalangan mereka.
Menurut Meier, perkembangan dan penyusunan otak manusia berlangsung sebelum memasuki usia 18 tahun. Kondisi ini, kata dia, rentan terhadap kerusakan akibat narkoba yang digunakan. Pemakaian ganja secara terus-menerus mempengaruhi fungsi kognitif sehari-hari dan memori mereka.
Penelitian in semakin penting karena riset sebelumnya tidak mengukur fungsi otak sebelum seseorang menggunakan ganja. "Ini studi terlengkap yang pernah saya baca, yang memperlihatkan bahaya jangka panjang dari penggunaan ganja," kata Nora Volkow, Direktur US National Institute on Drug Abuse. Lembaga ini ikut mendanai penelitian tersebut bersama dengan Pemerintah Inggris dan sebuah yayasan di Zurich.
Robin Murray, psikiater di Institute of Psychiatry, King's College London, yang pernah melakukan riset hubungan antara ganja dan psikosis, terkesan dengan penelitian ini. Menurut dia, sejumlah penelitian sebelumnya menggunakan jumlah sampel lebih sedikit. "Kohort Dunedin dengan populasi besar menjadi yang paling banyak dipelajari di dunia. Ini contoh yang sangat baik," kata dia.
Valerie Curran, profesor psychopharmacology di University College London dan anggota Komite Independen Ilmiah Inggris tentang Obat, mengajak kita melihat faktor lainnya, misalnya depresi dan kurangnya motivasi.
Survei ini menunjukkan remaja mulai yakin bahwa penggunaan ganja secara terus-menerus berbahaya bagi kesehatan. Tim peneliti berharap pemerintah mengontrol remaja agar tidak menggunakan ganja dan narkoba lainnya. "Pesan sederhananya adalah jauhi penggunaan zat-zat yang tidak sehat untuk anak-anak, termasuk tembakau dan alkohol," kata Avshalom Caspi.
NATURE NEWS | PNAS | AMRI MAHBUB