TEMPO.CO, Jakarta - Iswahyudi, ahli kedokteran hewan dari Universitas Airlangga mengungkap adanya mutasi virus flu burung dari 2012-2015 di Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitiannya, salah satu penyebab perubahan karakter itu adalah implementasi kebijakan pengendalian dan penanggulangan penyakit flu burung yang tidak tepat, yakni vaksinasi.
Menurut Iswahyudi, vaksinasi seharusnya dilakukan dengan pengulangan 2 kali ditambah 3 kali sehingga total 5 kali. “Tetapi dengan jumlah unggas yang begitu besar di Indonesia, termasuk Jawa Timur, pemerintah tidak punya cukup dana,” ujar Iswahyudi kepada wartawan usai menjalani sidang disertasi di Fakultas Kedokteran Hewan Unair Surabaya, Senin, 30 Mei 2016.
Akibatnya, tak semua unggas memiliki antibodi yang sama melawan virus mematikan tersebut. Jawa Timur yang paling besar mengalokasikan pemberian vaksin di Indonesia, misalnya, cakupannya tak sampai 5 persen. “Akibatnya, angka cakupan minimal vaksinasi yang diisyaratkan sebesar 70 persen, tidak tercapai," kata Iswahyudi.
Dia memaparkan, dari empat sektor peternakan yang ditetapkan pemerintah, peternak di sektor III skala kecil dan IV yang dikandangkan memiliki risiko tertular virus flu burung paling besar. Namun, pencegahannya tak sebanding. Berdasarkan penelitiannya, dari 279.353.386 ekor unggas di Jawa Timur pada 2015, vaksin yang dianggarkan hanya 2.700.000 dosis. “Artinya, cakupan vaksinasi penyakit flu burung di bawah 2 persen,” jelas Iswahyudi.
Di Jawa Tengah dan Jawa Barat bahkan lebih miris lagi. Pada 2015, pemerintah provinsi Jawa Tengah hanya mengalokasikan 325 ribu dosis dari total 187.256.652 ekor unggas. Di tahun yang sama, pemerintah provinsi Jawa Barat hanya mengalokasikan 950 ribu dosis dari total 691.600.000 ekor unggas.
Prof. Chairul Anwar Nidom, pembimbing disertasi Iswahyudi menambahkan, dari tiga provinsi, cakupan vaksinasi di Jawa Timur tertinggi, yakni berkisar 4,8 persen dari target 70 persen. “Berikutnya Jawa Tengah hanya 1,5 persen dan Jawa Barat 0,5 persen,” ujar dia.
Kepala Avian Influenza Research Center (AIRC) Unair itu pun menyebutkan, kasus flu burung di Banyuwangi pada Maret 2016 lalu adalah akibat vaksinasi yang tidak tepat. Setelah menganalisis data-data lapangan di Banyuwangi, Lamongan, dan lainnya, hampir semua merupakan ayam-ayam yang tidak divaksinasi.
“Nah, ayam-ayam yang mati itu virusnya ke mana? Lompatannya ke mana? Itulah yang saya khawatirkan sebagai penggunaan vaksin yang overuse atau berlebihan,”kata Nidom.
Overuse, kata dia, dilakukan akibat dukungan dana dari pemerintah yang sedikit namun tak sesuai kebutuhan tiap kabupaten. Akibatnya, jika terdapat suatu kabupaten/kota yang memiliki stok berlebih, lalu digunakan atau disuntikkan lagi.
Iswahyudi yang juga Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Jawa Timur itu mengusulkan dua solusi. Pertama, adanya jejaring Dinas Peternakan dari tingkat pusat sampai daerah. “Di tingkat provinsi harus ada dinas peternakan, di kabupaten harus ada dinas peternakan,” tuturnya.
Kedua, dukungan anggaran yang cukup dari pemerintah, baik pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. “Ini sebagai wujud sharing responsibility sesuai amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan," tutur Iswahyudi.
Iswahyudi juga meminta agar pemerintah tegas terhadap peternak rumah tangga yang tak mengandangkan unggasnya. Peternak unggas pekarangan yang tidak dikandangkan, diwajibkan beralih budidaya seperti kambing, dan lainnya. “Kalau dia tetap ingin memelihara unggas harus dikandangkan. Karena ketika unggas tidak dikandangkan, maka potensi tertular dari hewan ke manusia itu lebih besar,” ucap dia.
ARTIKA RACHMI FARMITA