TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Andi Eka Sakya mengatakan gelombang pasang adalah fenomena yang wajar terjadi. Fenomena ini terjadi karena adanya gaya tarik bulan terhadap bumi, sehingga permukaan air laut naik.
"Ini karena siklus bulan mati-bulan purnama sekitar dua mingguan," ucap Andi melalui pesan pendek di Jakarta, Kamis, 9 Juni 2016. Pada kondisi tertentu, menurut Andi, akan terjadi swell—gelombang yang terjadi karena aktivitas cuaca di tempat lain yang dapat menambah kenaikan pasang muka laut naik menjadi lebih tinggi.
Andi menjelaskan, gelombang pasang naik dengan ketinggian lebih dari 1 meter terjadi pada 1 Juni-9 Juni dan 15-23 Juni 2016. "Itu terjadi karena siklus pergerakan pasang naik dan turun terkait dengan posisi bulan dan bumi," tuturnya.
Berdasarkan prakiraan gelombang selama sepekan ke depan dalam situs Maritim.bmkg.go.id, gelombang setinggi 2,5-4 meter terjadi di perairan Sabang, perairan barat Kepulauan Simeulue, dan perairan barat Kepulauan Mentawai.
Wilayah lain yang terkena dampak gelombang tinggi adalah perairan Bengkulu, Pulau Enggano, perairan barat Lampung, Selat Sunda bagian selatan, perairan selatan Pulau Jawa, perairan selatan Bali, dan perairan selatan Nusa Tenggara Timur.
Sebelumnya, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Yunus S. Swarinoto menyatakan gelombang tinggi terjadi karena pengaruh astronomi, yaitu bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus (spring tide). Siklus ini, kata dia, merupakan siklus bulanan yang normal.
Namun ini menjadi berbahaya karena bersamaan dengan terjadinya anomali positif tinggi muka air laut di wilayah Indonesia setinggi 15-20 sentimeter. "Kondisi ini memberi dampak yang menimbulkan kerugian materi di beberapa wilayah, seperti pesisir Jakarta, Pekalongan, dan Semarang," ujar Yunus.
ARKHELAUS WISNU