TEMPO.CO, Pennsylvania - Penembakan dan aksi teror di Orlando, Florida, Amerika Serikat, pada Ahad, 12 Juni 2015, meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab, yakni kenapa pelakunya hampir semua pria?
Marissa Harrison, dosen peneliti psikologi di Pennsylvania State Harrisburg, Amerika Serikat, pernah membuat kajian terkait dengan hal itu. Setelah memeriksa 90 pria pelaku pembunuhan massal sejak 1996 hingga 2008, Harrison menemukan bahwa 88 persen pemicu kasus kekerasan adalah ancaman terhadap status si pelaku, seperti kehilangan pekerjaan atau korban bullying.
"Segala sesuatu yang menyerang status pria tersebut merupakan ancaman reproduktif," kata Harrison. Ini bukan berarti perempuan tidak kejam atau pendendam. Psikolog itu mengatakan sifat brutal pria berbeda.
Menurut risetnya, hampir 98 persen pelaku pembunuhan massal dan aksi teror adalah pria. "Mereka sering punya motif balas dendam. Dengan membunuh, pelaku merasa memiliki kekuatan," ujarnya.
Bagi pria, hal itu hampir bagai maju ke medan perang. “Pria kerap mengoleksi senjata penyerang dan peralatan militer, berpakaian ala militer, serta menyerang bangunan fisik, misalnya sebuah gedung, hampir secara acak, tanpa harus memiliki hubungan pribadi,” kata Frank Farley, psikolog dan dosen Temple University. "Lain halnya dengan perempuan. Serangannya selalu dekat dan pribadi. Individu atau keluarganya. Sebagian besar pembunuhan terhadap anak dilakukan oleh ibunya."
Jenis senjata yang disukai juga berbeda. Mary Muscari, dosen Decker School of Nursing di Binghamton University yang mendalami kesehatan anak, kesehatan mental, dan forensik, menyatakan pria lebih suka senjata api. Sedangkan perempuan lebih sering mencekik atau menenggelamkan korbannya.
Omar Mateen, pelaku penembakan dan aksi teror di Orlando, Florida, Amerika Serikat, Ahad, 12 Juni 2016, yang membuat 50 orang tewas dan 57 orang lainnya luka-luka, diketahui membeli setidaknya dua senjata api secara legal dalam seminggu terakhir.
Menurut Sitora Yusifiy, mantan istri Mateen, mantan suaminya itu memang mempunyai izin atas kepemilikan senjata api. Mateen, kata dia, juga pernah menggunakan steroid semasa hidupnya. Dia yakin Mateen yang pernah bercita-cita menjadi polisi itu mengalami gangguan jiwa.
Mateen, menurut klaim Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), adalah salah satu pejuangnya. Namun Yusifiy tidak yakin akan hal itu. Walaupun memegang kepercayaan dan menjalankannya, dia yakin Mateen tak memiliki tanda-tanda radikalisme.
DISCOVERY NEWS | THE GUARDIAN | AMRI MAHBUB