TEMPO.CO, Jakarta - World Wildlife Fund (WWF) Indonesia mencatat jumlah harimau mengalami penurunan drastis 70 persen dari total populasi dalam 25 tahun terakhir.
"Hal ini karena adanya pembukaan lahan dan perburuan," kata Direktur Sumatera Kalimantan WWF Indonesia Anwar Purwoto saat diskusi peringatan Tiger Day di Senayan City, Minggu, 31 Juli 2016.
Anwar mengatakan saat ini populasi harimau hanya 300-400 ekor. Populasi itu berada di 33 kantong hutan di kawasan Sumatera dan Kalimantan, di antaranya di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan terbanyak di Aceh.
Menurut dia, ada dua penyebab utama merosotnya populasi harimau, yakni perluasan lahan dan perburuan atau konflik dengan masyarakat sekitar.
Dalam 25 tahun terakhir, perluasan lahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sangat besar. Hal ini menyebabkan ruang jelajah harimau kian sempit. Tidak aneh jika masyarakat sering melihat harimau masuk ke perkebunan warga karena jarak jelajah mereka telah menjadi ladang.
Perluasan lahan paling banyak karena industri perkebunan kelapa sawit, kebun cengkeh, dan perkebunan transmigran. Sedangkan faktor lain adalah banyaknya perburuan harimau untuk dijual, baik hidup maupun mati.
Sementara ini, pantauan populasi harimau diawasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama berbagai lembaga swadaya masyarakat, termasuk WWF Indonesia. Di daerah, pemerintah juga membuat beberapa balai taman nasional, suaka marga satwa, dan cagar alam.
Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Tiur Rumondang mengatakan pihaknya mendukung penyelamatan habitat harimau. Karena itu, dia mendorong konsumen mendukung minyak sawit yang berkelanjutan untuk menekan jumlah perluasan lahan sawit baru.
"Dibutuhkan sinergi untuk melindungi satwa langka dari kepunahan," katanya. Dia sepakat menerapkan nilai-nilai konservasi dalam pengelolaan sawit, termasuk dengan melindungi spesies langka dan terancam punah.
AVIT HIDAYAT