TEMPO.CO, Jakarta - Sains dan teknologi tinggi terus bergerak maju. Semua negara tak mau ketinggalan. Atta-ur Rahman, pakar kimia organik dari Karachi University, Pakistan, melihat hal tersebut sebagai kunci agar sebuah bangsa bisa memasuki lanskap pertarungan ekonomi global.
Rahman, yang juga Mantan Menteri Riset dan Teknologi Pakistan, memberikan kuliah umum pada malam penganugerahan Ristekdikti-Kalbe Science Award 2016 (RKSA) ke-5 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat, Jumat malam pekan lalu. Wakil Ketua Komite Sains, Teknologi, dan Inovasi PBB di UNESCAP Regional Asia ini membawakan topik “The Wondrous World of Discovery”.
Selain giat di dunia pendidikan dan sains, Rahman aktif sebagai President Network of Academies of Sciences of Islamic Countries (NASIC) dan menjadi Professor Emeritus/Distinguished National Professor di International Centre for Chemical and Biological Sciences, University of Karachi.
“Dunia sudah jauh berubah. Manusia harus sadar bahwa pendidikan, sains, dan teknologi adalah kunci fundamental suatu bangsa,” kata Rahman saat diwawancarai Amri Mahbub dari Tempo sebelum mengisi kuliah umum. Berikut ini petikan wawancaranya.
Mengapa harus sains dan teknologi tinggi?
Kita hidup di dunia yang semakin menuntut pembangunan sosial-ekonomi dari banyak sektor. Sains dan teknologi tinggi menjadi faktor penting untuk memberantas kemiskinan melalui pertumbuhan manufaktur. Dalam skenario dunia, total nilai ekspor teknologi rendah mulai turun. Sebaliknya, teknologi tinggi, seperti satelit dan kimia organik, kian meroket. Karena itu, kolaborasi antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah memegang peranan penting.
Anda mengelaborasi semua itu saat menjadi Menteri Riset, Sains, dan Teknologi Pakistan?
Pakistan adalah sebuah negara dengan populasi sekitar 180 juta jiwa, 55 persen di antaranya berumur di bawah 19 tahun. Ini adalah sebuah keuntungan demografi bagi kami untuk membangun sosial-ekonomi yang berfokus pada pendidikan, sains, teknologi, inovasi, dan technopreneur. Jadi bukan investasi besar-besaran pada sumber daya mineral yang akan habis, melainkan pada lima hal itu. Sebuah bangsa tanpa pendidikan tak lebih dari sekadar kumpulan kera.
Sepanjang 2000-2008, saya membuat perubahan radikal dalam dunia pendidikan Pakistan. Saya menaikkan anggaran pengembangan riset dan teknologi hingga 6.000 persen dan pendidikan tinggi sebesar 3.500 persen. Angka yang cukup fantastis, tapi itu efektif untuk membuat suatu negara dipandang di kancah global. Dampaknya, dalam waktu singkat, beberapa perguruan tinggi di Pakistan masuk 250 besar dunia.
Tiga laporan independen yang diterbitkan USAID, World Bank, dan British Council memuji kinerja luar biasa Komisi Pendidikan Tinggi (HEC) Pakistan. Bukan hanya itu, lewat upaya keras HEC, Pakistan berhasil memenangi beberapa penghargaan internasional atas perubahan revolusioner di sektor pendidikan tinggi.
Saya pernah mendengar bahwa kemajuan pendidikan di Pakistan secara signifikan pada periode 2000-2008 menjadi ancaman bagi India…
Ya. Itu bermula pada 23 Juli 2006, saat sebuah artikel berjudul “Pak Threat to Indian Science” terbit di surat kabar harian terkemuka India, Hindustan Times. Artikel itu dimulai dengan kalimat “Pakistan tampaknya akan segera bergabung dengan Cina dalam persaingan serius menghadapi India dalam ilmu pengetahuan”.
Dalam artikel tersebut dilaporkan bahwa Ketua Ilmiah Dewan Penasihat Perdana Menteri India C.N.R. Rao melapor kepada Perdana Menteri India Manmohan Singh tentang langkah-langkah cepat Pakistan di sektor pendidikan tinggi setelah pembentukan Komisi Pendidikan Tinggi pada Oktober 2002.
Selanjutnya: Singapura, Korea Selatan, dan Malaysia...
Menurut Anda, bangsa mana yang patut dijadikan contoh untuk pengembangan pendidikan dan teknologi?
Singapura, Korea Selatan, dan Malaysia.
Kenapa mereka?
Singapura sama sekali tak punya sumber daya alam dan populasinya hanya 5 juta jiwa, seperempat dari Karachi. Namun mereka mampu melakukan ekspor dengan nilai mencapai US$ 518 miliar dan pendapatan per kapitanya mencapai US$ 50 ribu. Adalah tangan besi Lee Kuan Yew yang melakukan itu. Selama tiga dekade, ia menghapus korupsi. Ia berinvestasi besar-besaran dalam dunia pendidikan, juga sains dan teknologi. Kini mereka tinggal menuai keuntungan besar dari investasi tersebut.
Korea Selatan juga patut dijadikan acuan karena dari sebuah negara miskin pada dekade 1960-an menjadi salah satu negara maju hanya dalam waktu 50 tahun. Itu karena korupsi dibasmi dan pendirian perguruan tinggi riset kelas dunia menjadi prioritas. Adapun Malaysia maju saat dipimpin Mahathir Mohammad. Dia memberikan prioritas bagi teknologi tinggi dan manufaktur.
Jadi harus ada pemimpin “tangan besi” yang mau mengambil risiko untuk memprioritaskan pendidikan dan teknologi?
Betul! Dan tak hanya mau mengambil risiko, tapi juga mengerti secara holistik apa yang dibutuhkan bangsanya. Tidak sekadar jago dalam lobi politik, tapi juga seorang teknokrat andal.
Pemimpin itu juga harus menempatkan orang yang ahli di bidang masing-masing dalam pemerintahan. Merekalah yang memahami potensi di tiap sektor. Muhammad Iqbal pernah berkata, “Sebuah bangsa lahir dari hati seorang penyair, tapi mati di tangan politikus.”
AMRI MAHBUB