TEMPO.CO, Bandung - Tim dosen dan mahasiswa Institut Teknologi Bandung membuat mesin khusus untuk produsen batik di Tanah Air. Mesin itu menghasilkan penyinaran matahari buatan guna memunculkan warna seusai pencelupan kain batik. Dengan mesin itu, produksi batik bisa digenjot harian tanpa harus mengandalkan sinar matahari.
Tim itu dari Program Studi Teknik Industri dan Program Studi Teknik Fisika ITB. Penggagasnya dosen Eko Mursito Budi serta pengusaha batik di Bandung, Komarudin Kudiya. Tim peneliti melibatkan Vebi Nadhira, Nugroho Hari Wibowo, Pedrick Pratama, dan Nabella Adjani. Mesinnya dibuat sebagai tugas akhir oleh Amron Naibaho dan Haris Suwignyo. Inovasi tersebut dipamerkan di Aula Barat ITB, Senin, 24 Agustus 2016.
Mesin yang digagas pada 2015 tersebut, kata Amron, berawal dari keluhan pengusaha batik soal produksi batik yang selalu menurun saat musim hujan. “Karena sulit sinar matahari untuk mengaktivasi warna kain batik pasca-pencelupan,” ucapnya kepada Tempo.
Tim peneliti kemudian mencari tahu komponen sinar matahari apa yang berperan untuk memunculkan warna kain batik. Pengujiannya pada sinar inframerah, cahaya tampak, dan ultraviolet. Hasilnya, sinar pencetus warna itu adalah ultraviolet.
Pada pengujian berikutnya dengan memakai lampu khusus ultraviolet, tim peneliti menemukan durasi dan jarak penyinaran lampu dengan kain batik. Setelah itu, tim membuat mesin penyinaran tersebut dengan sistem pengantar berjalan (conveyor). Setelah tombol aktivasi mesin dihidupkan, kain batik secara otomatis disinari secara merata.
Dari pantauan Tempo, hasil warna yang muncul pada beberapa contoh kain dengan beragam warna indigosol itu dari hasil kerja mesin, ada yang sama dan beberapa yang lebih bagus daripada cara dijemur langsung ke matahari. Pengujian itu berlangsung di Laboratorium Fisika serta di tempat produsen batik.
Mesin fotonik batik itu dalam wujud purwarupa panjangnya 25 sentimeter, lebarnya sesuai dengan ukuran lebar kain standar 1,2 meter dengan panjang kain 2 meter. “Panel (tempat) penyinaran harus ditutup untuk menghindari efek lampu ke mata operator,” tutur Amron. Biaya riset pembuatan mesin tersebut sebesar Rp 120 juta.
ANWAR SISWADI