TEMPO.CO, Washington DC - Setiap orang memiliki kebutuhan untuk pipis dan buang air besar. Aktivitas mengeluarkan air seni dan kotoran dari dalam tubuh ini relatif mudah dilakukan di bumi. Namun, bagi para astronot yang bertugas di luar angkasa, kegiatan sederhana ini masih menjadi masalah besar sampai sekarang.
Badan Antariksa Amerika Serikat bahkan membuat sayembara untuk mencari solusi urusan buang hajat ini. NASA menawarkan hadiah sebesar US$ 30 ribu atau Rp 404 juta bagi siapapun yang bisa memberikan penyelesaian jitu. NASA memberikan batas waktu hingga 20 Desember 2016 untuk pengajuan proposal solusi.
Dalam situs resminya, NASA menyebutkan tengah mencari solusi untuk sistem manajemen feses, urine, dan menstruasi yang akan digunakan dalam baju para astronot saat sesi peluncuran dan kostum pelindung secara berkelanjutan selama 144 jam. “Sistem manajemen limbah di dalam baju pelindung akan membantu dalam kondisi darurat selama penugasan jangka panjang.”
Sejak penjelajahan manusia keluar dari bumi dimulai lebih dari setengah abad lalu, urusan buang hajat ini termasuk yang agak terlambat dipikirkan para ahli. Kini misi ke luar angkasa sudah memasuki tahap baru, termasuk menjajaki peluang membangun koloni manusia di planet Mars. Durasi perjalanan yang membuat para astronot bakal terjebak dalam kostum antariksa mereka berhari-hari.
Baca: Ilmuwan Teliti Keunikan Kulit Manusia, Begini Hasilnya
Sebagai perbandingan, perjalanan ke bulan saja butuh waktu setidaknya tiga hari. Sementara untuk menuju Mars, bisa memakan waktu hingga 300 hari. Semakin bahan bahan bakar yang dipakai, tentu waktu tempuhnya semakin singkat.
Menahan buang hajat selama dua hari saja sudah sulit. Bayangkan jika harus menahannya dalam kondisi ekstrem dan tanpa sarana yang memadai dengan durasi yang panjang. Selain kostum, para astronot juga terjebak dalam kapsul peluncuran mereka. Jadi bagaimana para astronot itu menyelesaikan urusan “Nomor 1” dan “Nomor 2” tersebut?
Di bumi, gravitasi membantu menjauhkan kotoran yang keluar dari tubuh manusia. Urusan higienitas pun mudah diselesaikan. Dalam kondisi minim gravitasi, seperti di Stasiun Luar Angkasa Internasional, kotoran dan urin tak akan otomatis lepas dari saluran pembuangan tubuh. Kalaupun lepas, kotoran melayang ke mana-mana dan mencemari pesawat.
Dalam misi Gemini yang berlangsung pada 1961-1965, para astronot mulai menggunakan kantong plastik sepanjang 30 sentimeter yang dilengkapi perekat. Kantong itu juga dilengkapi dengan tisu pembersih dan material untuk membunuh bakteri dan menghilangkan bau tak sedap pada kotoran. Ada juga bahan tambahan di kantong yang digunakan para astronot memisahkan kotoran dari tubuh mereka.
Simak: Suara Asing di Permukaan Pesawat Antariksa, Karena Alien?
Penggunaan kantong kotoran itu juga merepotkan. Di dalam misi Apollo yang berlangsung pada 1969-1972, astronot yang mau buang hajat harus melepas seluruh bajunya dan pergi ke sudut ruang pesawat sementara rekannya akan pergi sejauh mungkin. Seluruh prosesnya bisa memakan waktu lebih dari sejam.
Di stasiun luar angkasa, urusan buang hajat sedikit lebih baik. Para astronot menggunakan penyedot khusus yang akan menarik feses dan urin yang keluar, termasuk aroma busuknya yang berpotensi mencemari udara, lalu menyalurkannya ke wadah khusus yang dikompresi hingga kedap udara untuk membunuh patogen.
Sistem seperti inilah yang dibutuhkan di dalam baju astronot. Namun membuat sistem yang bisa bekerja dalam kostum yang tersegel, untuk pria dan wanita, bakal tak mudah. Apalagi penggunanya harus bisa memakainya dalam waktu kurang dari lima menit.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA | NASA | SPACE | POPULAR SCIENCE