TEMPO.CO, San Francisco - Dua pengguna Twitter, yang diblokir oleh Donald Trump setelah mereka mengkritik Presiden Amerika tersebut, mengklaim bahwa pengecualian mereka untuk menjadi salah satu dari 31,7 juta pengikut akun Trump merupakan pelanggaran Amendemen Pertama atas hak konstitusional mereka.
Baca: Krisis Diplomatik Qatar, Donald Trump Membela Arab Saudi
Presiden Donald Trump menghalangi keduanya untuk mengikutinya melalui akun Presiden itu di Twitter, @realDonaldTrump. Karena itu, Knight First Amendment Institute di Columbia University meminta Trump untuk membebaskan mereka dan orang lain yang telah diblokirnya di Twitter.
Lembaga tersebut mengatakan akan menggugat ke pengadilan jika akun Twitter kliennya tetap diblokir. Lembaga tersebut mengatakan bahwa pengguna Twitter Holly O'Reilly, @AynRandPaulRyan, diblokir pada tanggal 28 Mei setelah memposting GIF dengan judul: "Ini menunjukkan bagaimana seluruh dunia melihat Anda." GIF menunjukkan Paus Fransiskus tampil tidak nyaman saat bertemu Trump.
Pengguna yang diblokir lainnya adalah Joseph M. Papp, @joepabike, yang mengetahui bahwa ia diblokir pada tanggal 4 Juni karena mengkritik Trump saat menggunakan tag #fakeleader.
Permintaan keduanya memunculkan wacana hukum yang unik. Lembaga ini menyebut akun Trump sebagai "forum publik". Karena itu, institusi tersebut mengatakan kepada presiden, "pemblokiran berdasarkan sudut pandang atas klien kami adalah tidak konstitusional. Kami meminta Anda membebaskan mereka dan orang lain yang telah diblokir karena alasan yang sama."
Baca: Dikritik Donald Trump Soal Serangan di London, Sadiq Khan Cuek
Surat tersebut juga mengajukan permintaan yang sama untuk akun @POTUS presiden.
Menurut lembaga tersebut, ketika pemerintah menyediakan ruang bagi masyarakat luas untuk tujuan aktivitas ekspresif, maka pemerintah menciptakan forum publik yang tidak boleh secara konstitusional mengecualikan individu berdasarkan sudut pandang.
“Pemerintah dapat memberlakukan batasan waktu, tempat, dan cara yang wajar dalam forum publik yang ditunjuk, namun tidak boleh mengecualikan orang hanya karena tidak setuju dengan mereka,” ujar lembaga itu dalam suratnya.
ARSTECHNICA | ERWIN Z