TEMPO.CO, California - Laman berita teknologi The Atlantic melansir artikel tentang dampak smartphone bagi iGen, generasi yang lahir 1995-2012. Ini merupakan ringkasan studi yang ditulis oleh Jean Twenge, profesor psikologi dari Universitas Negeri San Diego, Amerika Serikat.
Hasil studi lengkapnya bisa dibaca di buku karangan Twenge berjudul iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy--and Completely Unprepared for Adulthood--and What That Means for the Rest of Us (2017).
Baca: Berita Teknologi Viral: Apple Stop Produksi iPod Nano dan Shuffle
Smartphone dengan segala fitur canggihnya bisa memberikan kemudahan dalam mengatur kegiatan sehari-hari. Mulai dari mencari jalan hingga mengatur jadwal pertemuan. Sangat sulit merujuk kapan persisnya ponsel pintar lahir.
Banyak yang percaya saat mendiang Steve Jobs, pendiri Apple, melahirkan iPhone generasi pertama pada 9 Januari 2017. Atau pada Juli 2008 ketika Apple Store muncul. Banyak juga yang percaya smartphone muncul sebelum iPhone.
Baca Juga:
Baca: Berita Teknologi: Facebook Bikin Speaker Kecerdasan Buatan
Meski ringkas, Twenge, dalam bukunya, melaporkan bahwa iGen ternyata rentan terserang depresi atau berpikir untuk mengakhiri hidup. Menurut dia, iGen adalah generasi yang tak pernah terputus koneksi Internet selama hidup mereka.
"Namun, merekalah yang sangat rentan depresi ketimbang generasi milenial," tulis Twenge dalam lama berita The Atlantic, Jumat, 4 Agustus 2017.
Baca: Berita Teknologi: iPhone 8 Akan Pakai Chipset Super Cepat A11
Salah satu sebabnya adalah igen terhubung dengan teman-teman mereka secara digital. Terlalu sering mengakses ponsel dapat berakibat seseorang merasa tidak nyaman ketika harus berhadapan langsung.
Seorang anak perempuan berusia 13 tahun, yang menjadi subjek penelitian, misalnya, sudah memiliki iPhone sejak ia berusia 11. "Kami lebih suka ponsel dari pada orang betulan," kata dia, seperti dikutip Twenge.
Baca: Berita Teknologi: Inilah Alasan Kita Sulit Lepas dari Smartphone
Penelitan itu mengungkap anak usia kelas delapan, sekitar 14-15 tahun, yang menghabiskan lebih dari 10 jam seminggu di media sosial cenderung 56 kali merasa tidak bahagia dibandingkan teman-teman mereka yang jarang mengaksesnya. Mereka, yang selama 6-9 jam berada di media sosial dalam seminggu, 47 persen merasa tidak bahagia.
Angka kebahagiaan berlaku sebaliknya. Mereka yang berada di atas rata-rata menghabiskan waktu bersama teman. Sedangkan 20 persennya merasa tidak bahagia. Dengan kata lain, penelitian ini menyimpulkan semakin banyak remaja menghabiskan waktu di depan layar, semakin besar kemungkinan mereka merasa depresi.
Baca: Berita Teknologi: Alphabet Rilis Google Glass Enterprise Edition
Simak berita teknologi menarik lainnya dan efek smartphone hanya di kanal Tekno Tempo.co.
THE ATLANTIC | AMRI MAHBUB