TEMPO.CO, Jakarta - Meski normal, tapi menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), musim kemarau ini berdampak pada krisis air di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Berdasarkan data sementara yang dihimpun Pusat Pengendali Operasi (pusdalops) BNPB terdapat sekitar 105 kabupaten/kota, 715 kecamatan, dan 2.726 kelurahan/desa yang mengalami kekeringan saat ini di Jawa dan Nusa Tenggara.
"Sekitar 3,9 juta jiwa masyarakat terdampak kekeringan sehinga memerlukan bantuan air bersih. Kekeringan juga menyebabkan 18.516 hektar lahan pertanian gagal panen," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, saat dihubungi Tempo, Kamis, 14 September 2017.
Berdasarkan sebaran wilayahnya, kekeringan di Jawa Tengah melanda 1.254 desa yang tersebar di 275 kecamatan dan 30 kabupaten/kota. Warga yang terdampak ada 1,41 juta jiwa. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan hingga Oktober 2017.
Di Jawa Barat, kekeringan melanda 496 desa di 176 kecamatan dan 27 kabupaten/kota, sehingga berdampak kepada 936.328 jiwa. Delapan kepala daerah kabupaten/kota telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan, yaitu Kabupaten Ciamis, Cianjur, Indramayu, Karawang, Kuningan, Sukabumi, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya.
Di Provinsi DI Yogyakarta, kekeringan melanda 10 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Di 10 kecamatan tersebut ada 32 desa dan 12.721 jiwa yang terdampak kekeringan. Adapun di Jawa Timur, kekeringan melanda 588 desa di 171 kecamatan dan 23 kabupaten/kota.
Sedangkan di Nusa Tenggara Barat kekeringan melanda 318 desa di 71 kecamatan yang tersebar di 9 kabupaten meliputi, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, Bima dan Kota Bima. Sebanyak 640.048 jiwa terdampak kekeringan.
Adapun di Nusa Tenggara Timur sembilan kabupaten dilaporkan mengalami krisis air bersih. Sembilan kabupaten yang melaporkan darurat kekeringan itu adalah Flores Timur, Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua.
Menurut Sutopo, sebagian besar daera-daerah yang terlanda kekeringan adalah daerah-daerah yang pada tahun-tahun sebelumnya juga mengalami kekeringan. Masih tingginya kerusakan lingkungan dan daerah aliran sungai menyebabkan sumber air mengering.
"Pasokan air di sungai menyusut drastis selama musim kemarau. Di satu sisi kebutuhan air masih meningkat sehingga kekeringan menahun masih terjadi di wilayah tersebut," kata Sutopo.
Untuk mengantisipasi kekeringan, Sutopo menjelaskan, penyaluran air bersih terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Upaya yang dilakukan untuk jangka pendek adalah bantuan dropping air bersih melalui tangki air. Air bersih ini untuk memenuhi kebutuhan minum dan memasak. Sedangkan untuk mandi dan cuci, Sutopo mengimbau, warga harus memanfaatkan sumber-sumber mata air dari sungai atau embung-embung yang ada di sekitar warga.
BNPB memperkirakan kekeringan masih akan berlangsung hingga Oktober mendatang. Untuk menunggu datangnya hujan, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, mengimbau masyarakat untuk menghemat penggunaan air. "Lebih bagus kalau bisa disimpan," kata dia, saat dihubungi, Kamis, 14 September 2017.
Selain itu, Ardhasena juga meminta masyarakat mewaspadai bencana alam pada masa transisi dari musim kemarau ke hujan, seperti angin kencang, puting beliung, dan gelombang tinggi. Untuk wilayah Pulau Jawa, massa transisi itu terjadi pada September.
Juga, kata dia, potensi kebakaran hutan, khususnya di daerah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah bagian selatan, Jambi, Sulawesi Selatan, dan Riau. "Kondisi kering begini biasanya potensi kebakaran hutannya besar," ujar Ardhasena.
Meski kering, tapi Ardhasena mengatakan, suhu musim kemarau tahun ini masih normal. Yakni, pada kisaran 33-36 derajat Celsius.
Kondisi kering tersebut juga sedikit banyak berdampak pada panen padi petani. Karena itu, para petani diimbau untuk mengganti mengganti padi dengan tanaman holtikultura yang tidak membutuhkan banyak air.
AMRI MAHBUB