Wah, Indonesia Krisis Radioisotop Medis
Editor
Gabriel Wahyu Titiyoga
Jumat, 21 November 2014 18:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia mengalami masalah dalam memproduksi radioisotop yang dipakai untuk keperluan kedokteran nuklir. Radioisotop tersebut digunakan untuk mendiagnosis dan terapi penyakit seperti kanker, jantung, ginjal, dan tiroid. Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto mengkonfirmasi adanya kelangkaan radioisotop itu.
Menurut Djarot, kebutuhan radiosotop untuk medis saat ini sebagian besar diperoleh melalui impor. "Di Indonesia ada krisis radioisotop, padahal awalnya diharapkan bisa jadi produsen karena punya reaktor sendiri," kata Djarot dalam konferensi pers di kantor Batan, Jakarta, Jumat, 21 November 2014.
Radioisotop yang paling dibutuhkan di Indonesia namun kini sulit didapat adalah Molybdenum 99 (Mo-99) yang berasal dari uranium. "Radioisotop itu adalah alat diagnosis paling ampuh dan hanya bisa diproduksi lewat reaktor nuklir," kata Djarot.
Mo-99 menghasilkan isotop Technetium-99 (Tc-99) yang digunakan dalam dunia medis. Ketika dimasukkan ke dalam tubuh, isotop itu bisa memberikan gambaran jelas tentang kondisi organ vital yang ingin dipantau. Selain Mo-99, Stok isotop Iodium-131 juga langka. "Isotop itu dipakai untuk diagnosis penyakit ginjal dan kanker tiroid," kata Djarot.
Meski terjadi kelangkaan, Djarot mengatakan, Batan tidak bisa memproduksi radioisotop untuk kebutuhan komersial. "Undang-undang menyatakan kami tidak boleh melakukan aktivitas komersial," kata Djarot. Produksi radioisotop untuk medis selama ini dijalankan oleh PT Industri Nuklir Indonesia (Inuki) dengan menggunakan reaktor nuklir Batan di Serpong, Tangerang.
Djarot membantah info bahwa produksi radioisotop berhenti karena reaktor milik Batan mengalami kerusakan. Reaktor yang diresmikan pada 1987 dengan kapasitas 30 megawatt termal itu masih beroperasi. Reaktor tersebut memproduksi radioisotop untuk keperluan radiologi, farmasi, industri, dan riset. "Tidak ada masalah dengan reaktor kami," katanya.
<!--more-->
PT Inuki tidak bisa melanjutkan produksi radioisotop karena izinnya dicabut oleh Batan dengan alasan keselamatan. Fasilitas produksi badan usaha milik negara itu itu sudah uzur dan harus segera diganti. "Solusinya mirip dengan perusahaan Merpati yang mendapat suntikan dana. Untuk PT Inuki, estimasinya sekitar 100 miliar," kata Djarot. (Baca juga: Bangun Reaktor Nuklir Eksperimental, Batan Butuh Rp 1,6 Triliun)
Direktur Utama PT Inuki Yudiutomo Imardjoko membenarkan kabar terjadinya kelangkaan produksi radioisotop di dalam negeri. Menurut Yudiutomo, target produksi radioisotop di dalam negeri sulit dipenuhi karena reaktor Batan hanya bekerja 20 minggu per tahun. "Pemenuhan untuk produksi 32 minggu yang tersisa itu harus diambil dari luar negeri," kata Yudiutomo ketika dihubungi Tempo.
Masalah lain yang mengganjal produksi radioisotop di dalam negeri adalah peralatan yang sudah tua. "Peralatan itu sudah ada sejak 1985, jadi memang harus direvitalisasi," kata Yudiutomo. Untuk merevitalisasi seluruh peralatan diperlukan biaya hingga Rp 140 miliar. "Tapi untuk yang penting-penting, dengan 10 persen dari biaya total atau sekitar Rp 15 miliar saja kami sudah bisa jalan," katanya.
Yudiutomo mengatakan jumlah produksi radioisotop PT Inuki mencapai 50 Currie per minggu. "Kebutuhannya kira-kira 100 Currie per minggu," ujarnya.
Meski kesulitan dalam produksi, Yudiutomo menjamin pasokan radiosotop ke rumah sakit terus berjalan. "Kelangkaan pasokan ke rumah sakit itu tidak ada. Mereka selalu dapat," katanya. Menurut Yudiutomo, ada 16 rumah sakit di Indonesia yang mendapatkan pasokan radioisotop. "Kami bekerja sama dengan Australia untuk memenuhi kebutuhan itu," katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Terpopuler:
Peneliti ITB: Ponsel Lokal Terbentur Citra Buruk
Kompetisi Drone Nasional Diikuti 13 Tim
Tiga Tokoh Indonesia Raih Kenton Miller Award
Kenapa Joging Bikin Kita Awet Muda?
Robot Philae Mendarat di Komet, Lalu 'Tertidur'