Identifikasi Penyakit Difteri Kini Hanya 1 Jam

Reporter

Rabu, 1 April 2015 20:44 WIB

Perpustakaan pusat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. TEMPO/Seto wardhana

TEMPO.CO, Jakarta - Kini, identifikasi penyakit difteri (penyakit gangguan pernapasan) bisa dilakukan hanya dalam waktu 60-90 menit. Adalah Sunarno, mahasiswa doktoral Departemen Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang menemukan metode identifikasi terbaru difteri tersebut.

Metode yang dia namakan dengan metode PCR Multipleks ini mengurangi tahapan PCR (polymerase chain reation). Mulanya, PCR memiliki tiga tahapan kerja: denaturation (modifikasi DNA), annealing (hibridasi DNA), dan ekstention (penggandaan DNA). Sunarno mengurangi tahapan tersebut menjadi dua langkah. Pengurangan tahapan ini dipercaya dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam proses identifikasi penyakit difteri.

"Namun, butuh temperature melting (Tm) DNA yang cukup tinggi, sekitar 70 derajat Celcius," kata Sunarno saat memaparkan penelitiannya kepada para penguji, di Ruang Senat FKUI, Jakarta Pusat, Rabu, 1 April 2015. Penelitian yang berjudul "Pengembangan PCR Multipleks untuk Identifikasi Cepat Spesies dan Toksigenisitas" ini sebagai persyaratan meraih gelar doktor dalam bidang ilmu biomedik.

Dengan Tm DNA yang cukup tinggi, menurut Sunarno, metode transferase activity (Ta) PCR bisa mencapai 68 derajat celcius. Tingkat temperatur tersebut, menurut dia, berimbas pada proses hibridasi DNA (annealing), yang dapat digabungkan dengan tahapan ekstensi DNA. Dia mengklaim, modifikasi tahapan ini dapat mereduksi waktu pemeriksaan lebih dari 50 persen dengan kualitas hasil yang sama.

Semula, identifikasi penyakit difteri bisa memakan waktu 3-5 hari. Sedangkan jika menggunakan metode PCR Multipleks, Sunarno menambahkan, identifikasi hanya memakan waktu 60-90 menit saja. Dia melakukan eksperimennya di Laboratorium Bakteriologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Pemeriksaan PCR Multipleks ini juga memiliki tingkat keakuratan yang tinggi dengan sensitivitas mendekati 100 persen. Sunarno membuktikannya dalam identifikasi 10 sampel positif bakteri penyebab difteri, yakni Corynebacteria diphteriae, C. ulserans dan C. pseudotubercolusis.

"Tak hanya itu, biayanya juga cukup murah dibandingkan dengan metode biasa," ujar Sunarno. "Sekitar Rp 50 ribu per sampel."

Penelitian Sunarno ini berangkat dari upaya menurunkan angka kematian yang disebabkan penyakit difteri. Caranya, kata Sunarno, dengan deteksi dini bakteri penyebab penyakit tersebut. Namun, ujarnya, identifikasi dini bakteri penyebab difteri bukanlah hal mudah. Musababnya, pemeriksaan laboratorium selama ini memakan waktu 3-5 hari.

Mengutip laporan World Health Organization, Sunarno menyebut kasus difteri di Indonesia mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir. Bahkan, kata dia, Indonesia menempati urutan kedua jumlah penderita difteri terbanyak di dunia setelah India.

AMRI MAHBUB

Berita terkait

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

1 hari lalu

Riset BRIN: Penduduk Indonesia Akan Kehilangan 2,5 Tahun Usia Harapan Hidup Akibat Polusi Udara

Efek polusi udara rumah tangga baru terlihat dalam jangka waktu relatif lama.

Baca Selengkapnya

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

6 hari lalu

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.

Baca Selengkapnya

Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

46 hari lalu

Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

Keramaian dan banyak teman di sekitar ak lantas membuat orang bebas dari rasa sepi dan 40 persen orang mengaku tetap kesepian.

Baca Selengkapnya

Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

47 hari lalu

Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

Cukup banyak kerusakan yang telah terjadi di Laut Cina Selatan, di antaranya 4 ribu terumbu karang rusak.

Baca Selengkapnya

Pembangunan di Laut Cina Selatan Merusak Ekosistem dan Terumbu Karang

47 hari lalu

Pembangunan di Laut Cina Selatan Merusak Ekosistem dan Terumbu Karang

Banyak pembahasan soal keamanan atau ancaman keamanan di Laut Cina Selatan, namun sedikit yang perhatian pada lingkungan laut

Baca Selengkapnya

Dua Bulan Lagi, Stanford University Bakal Groundbreaking Pusat Ekosistem Digital di IKN

31 Januari 2024

Dua Bulan Lagi, Stanford University Bakal Groundbreaking Pusat Ekosistem Digital di IKN

Stanford University, Amerika Serikat, merupakan salah satu universitas yang akan melakukan groundbreaking pusat ekosistem digital di IKN.

Baca Selengkapnya

Tinjau Pabrik Motherboard Laptop Merah Putih, Dirjen: Riset Perlu Terhubung Industri

29 Januari 2024

Tinjau Pabrik Motherboard Laptop Merah Putih, Dirjen: Riset Perlu Terhubung Industri

Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi meninjau pabrik motherboard dan menegaskan perlunya riset terhubung dengan industri.

Baca Selengkapnya

Jatam: Tiga Pasangan Capres Terafiliasi Oligarki Tambang

22 Januari 2024

Jatam: Tiga Pasangan Capres Terafiliasi Oligarki Tambang

Riset Jatam menelusuri bisnis-bisnis di balik para pendukung kandidat yang berpotensi besar merusak lingkungan hidup.

Baca Selengkapnya

Terkini: KPA Sebut PSN Jokowi Sumbang Laju Konflik Agraria Sepanjang 2020-2023, Bandara Banyuwangi Segera Layani Penerbangan Umroh

15 Januari 2024

Terkini: KPA Sebut PSN Jokowi Sumbang Laju Konflik Agraria Sepanjang 2020-2023, Bandara Banyuwangi Segera Layani Penerbangan Umroh

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebut Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah era Jokowi mendorong laju konflik agraria.

Baca Selengkapnya

BRIN: Pangan Jadi Salah Satu Prioritas Riset 2023, Kejar Target Hilirisasi

28 Desember 2023

BRIN: Pangan Jadi Salah Satu Prioritas Riset 2023, Kejar Target Hilirisasi

Dominasi riset bidang pangan sejalan dengan prioritas yang diminta oleh Presiden Joko Widodo.

Baca Selengkapnya