Satelit Pemburu Karbon Dioksida

Reporter

Editor

Selasa, 17 Februari 2009 08:37 WIB

TEMPO Interaktif, Pasadena:Setiap kali menyalakan mesin mobil sebelum berangkat bekerja, cobalah hitung berapa banyak emisi karbon dioksida yang Anda keluarkan bila rata-rata emisi CO2 sebuah kendaraan baru 140 gram per kilometer. Emisi karbon dioksida yang dilepas ke udara semakin berlipat ganda bila Anda mengebut. Emisi CO2 tiap kilometer yang dikeluarkan sebuah kendaraan yang berjalan 200 kilometer per jam (km/jam) mencapai dua setengah kali lipat emisi kendaraan serupa yang melaju pada kecepatan 130 km/jam.
Pembakaran material organik dalam bahan bakar fosil, seperti bensin dan solar, menghasilkan energi serta melepas karbon dioksida dan senyawa lain ke atmosfer. Gas rumah kaca, seperti CO2 ini, akan memerangkap panas di atmosfer serta menghangatkan dan mengganggu iklim bumi.
Para ilmuwan sepakat bahwa aktivitas manusia telah menjadi sumber utama kenaikan kadar karbon dioksida di atmosfer sejak dimulainya masa bahan bakar fosil pada 1860-an. Sekitar 85 persen emisi CO2 yang dihasilkan manusia berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Sisanya dari pembukaan hutan dan proses industri. Penggunaan bahan bakar fosil meningkat dengan cepat, terutama sejak Perang Dunia II, dan terus bertambah secara eksponensial. Bahkan lebih dari separuh bahan bakar fosil yang digunakan manusia selama ini dikonsumsi dalam 20 tahun terakhir.
Aktivitas manusia menambah karbon ke atmosfer rata-rata 1,4 metrik ton karbon per orang per tahun di seluruh dunia. Sebelum masa industrialisasi, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer sekitar 280 parts per million (ppm). Pada 1958, konsentrasi CO2 meningkat sekitar 315 ppm, dan pada 2007 angka itu naik menjadi 383 ppm. Kenaikan ini nyaris seluruhnya berasal dari aktivitas manusia.
Saat ini para ilmuwan sanggup mengukur dengan akurat jumlah karbon dioksida di atmosfer, tapi proses yang mengatur konsentrasinya di atmosfer masih menjadi misteri. Mereka juga belum mengetahui persis dari mana seluruh CO2 di atmosfer itu berasal dan ke mana mereka pergi.
Di sinilah Orbital Carbon Observatory (OCO), satelit baru badan antariksa Amerika, NASA, berperan besar. Berkat satelit yang akan diluncurkan 23 Februari itu menggunakan roket Taurus XL dari Vendenberg Air Force Base di California, para ilmuwan bisa mempelajari magnitude dan distribusi sumber CO2 dan tempatnya mengendap.
"Ini adalah wahana pertama NASA yang secara khusus didedikasikan untuk memetakan karbon dioksida," kata peneliti utama NASA, David Crisp. Tujuan misi OCO adalah membuat penaksiran yang sedemikian tepat sehingga dapat digunakan untuk mencari sumber dan "gudang penyimpanan" CO2.
Informasi ini akan memperbaiki prediksi kenaikan CO2 atmosfer ketika penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia terus berlanjut. Ini amat krusial untuk memahami dampak aktivitas manusia terhadap iklim dan mengevaluasi opsi mitigasi atau beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Misi satelit OCO memungkinkan para ilmuwan, untuk pertama kalinya, mencatat ukuran harian CO2, lebih dari 100 ribu perhitungan dari seluruh dunia setiap hari. Data baru ini akan memberikan wawasan baru yang amat berharga tentang dari mana gas rumah kaca itu berasal dan di mana ia disimpan.
Instrumen OCO yang amat sensitif akan mengukur distribusi CO2, membawa informasi contoh dari seluruh dunia dari orbitnya di antariksa. Meski instrumen ini tidak secara langsung mengukur emisi CO2 dari setiap cerobong asap atau kebakaran hutan yang terjadi, para ilmuwan dapat menggabungkan pengukuran konsentrasi CO2 yang bervariasi dari seluruh dunia yang diukur oleh satelit itu ke dalam pemodelan komputer.
Model komputer tersebut akan menyimpulkan di mana dan kapan sebuah sumber mengeluarkan karbon dioksida ke atmosfer. "Data Orbiting Carbon Observatory ini berbeda dari data misi lain seperti instrumen Atmospheric Infrared Sounder pada satelit Aqua NASA karena memiliki pengukuran jejak yang relatif kecil," kata Kevin Gurney, direktur di Climate Change Research Center di Purdue University di West Lafayette. "Misi ini melakukan penghitungan skala kecil, seperti kota kecil sampai sedang, bukan mengukur karbon dioksida yang dikeluarkan sebuah negara."
Pengukuran skala kecil ini memungkinkan para ilmuwan membedakan pergerakan CO2 dari sumber alami dengan gas yang berasal dari aktivitas bahan bakar fosil secara akurat. Pengukuran yang dijamin akurat ini tak lepas dari tiga spektrometer beresolusi tinggi canggih OCO yang mampu menyebar cahaya matahari yang direfleksikan permukaan bumi menjadi beragam warna. "Dengan menganalisis spektrum warna ini, para ilmuwan dapat mendeteksi gas apa yang terdapat dalam atmosfer bumi dan menghitung jumlahnya," kata Alan Buis, juru bicara Jet Propulsion Laboratory, di Pasadena, California.
Spektrometer ini secara spesifik diatur untuk mengukur jumlah refleksi cahaya matahari yang diserap oleh karbon dioksida dan molekul oksigen. "Pengukuran ini akan dianalisis untuk memperoleh perkiraan karbon dioksida atmosfer di atas wilayah di permukaan bumi seluas 1.000 kilometer persegi tiap bulan dengan akurasi 0,3-0,5 persen," katanya. "Para ilmuwan dapat menganalisis data ini menggunakan model transportasi kimia atmosfer global, sama dengan yang digunakan untuk memprediksi cuaca."
TJANDRA DEWI | SCIENCEDAILY | NASA | OCO |IHS

Berita terkait

Mahfud Md Sebut Kasus Century Buat Pejabat Trauma Ambil Kebijakan

25 Juli 2020

Mahfud Md Sebut Kasus Century Buat Pejabat Trauma Ambil Kebijakan

Menkopolhukam Mahfud Md mengatakan ada trauma di kalangan pejabat pemerintahan kala mengambil langkah cepat menanggulangi dampak Covid-19.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani, Anggaran Stimulus Covid-19, dan Trauma Kasus Century

28 Juni 2020

Sri Mulyani, Anggaran Stimulus Covid-19, dan Trauma Kasus Century

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara terkait situasi akibat virus corona Covid-19 dan krisis keuangan yang terjadi pada 2008.

Baca Selengkapnya

KPK Sebut Penyelidikan Sumber Waras dan Century Tak Dihentikan

20 Februari 2020

KPK Sebut Penyelidikan Sumber Waras dan Century Tak Dihentikan

KPK mengatakan empat kasus besar yang sedang mereka selidiki tak dihentikan.

Baca Selengkapnya

Penyelesaian Kasus Jiwasraya Lewat Pansus DPR Dipertanyakan

20 Januari 2020

Penyelesaian Kasus Jiwasraya Lewat Pansus DPR Dipertanyakan

Jika ingin serius membongkar dugaan korupsi, PKS dan Partai Demokrat seharusnya tidak membedakan kasus Jiwasraya dan Asabri.

Baca Selengkapnya

DPR Minta Kasus Jiwasraya Diusut Tuntas, Lebih Besar dari Century

16 Januari 2020

DPR Minta Kasus Jiwasraya Diusut Tuntas, Lebih Besar dari Century

Kasus Jiwasraya disebut lebih besar magnitudenya dibandingkan kasus Century.

Baca Selengkapnya

Bandingkan dengan Kasus Century, PPP Dukung Pansus Jiwasraya

7 Januari 2020

Bandingkan dengan Kasus Century, PPP Dukung Pansus Jiwasraya

Saat ini, kasus korupsi Jiwasraya tengah diselidiki oleh Kejaksaaan Agung.

Baca Selengkapnya

Politikus PKS dan Gerindra Minta KPK Ungkap BLBI dan Century

21 Desember 2019

Politikus PKS dan Gerindra Minta KPK Ungkap BLBI dan Century

PKS dan Gerindra menganggap pengungkapan kasus BLBI dan Century bisa menjawab beberapa hal.

Baca Selengkapnya

MAKI Minta KPK Limpahkan Kasus Century ke Polisi

17 September 2019

MAKI Minta KPK Limpahkan Kasus Century ke Polisi

MAKI kembali mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus Century.

Baca Selengkapnya

Revisi UU KPK, Perkara Kakap di KPK Rawan Dihentikan

17 September 2019

Revisi UU KPK, Perkara Kakap di KPK Rawan Dihentikan

Revisi UU KPK dianggap bisa mempengaruhi kelanjutan sejumlah kasus korupsi, seperti di Petral, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dan kasus Century.

Baca Selengkapnya

Pengacara Bandingkan Hukuman Baasyir dengan Robert Tantular

23 Januari 2019

Pengacara Bandingkan Hukuman Baasyir dengan Robert Tantular

Mahendradatta membandingkan hukuman yang dijalani oleh Abu Bakar Baasyir dengan terpidana kasus Century, Robert Tantular.

Baca Selengkapnya