Pakar Antropologi Hukum Unair: Tanpa UU Masyarakat Adat, 21 Etnik Bisa Punah di IKN
Reporter
Irsyan Hasyim (Kontributor)
Editor
Erwin Prima
Kamis, 1 Februari 2024 14:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah 14 tahun Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat tidak juga mendapat penetapan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pakar Antropologi Hukum Universitas Airlangga, Sri Endah Kinasih, berpendapat bahwa pemerintah dan legislator yang berada di DPR tidak menganggap penting isu masyarakat adat ini.
“Masyarakat adat dianggap kuno. Padahal, masyarakat adat punya nilai-nilai religio magis yang mereka pertahankan. Itu yang tidak dipahami oleh pemerintah,” ucap Endah melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 1 Februari 2024.
RUU Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat merupakan rancangan undang-undang yang telah diusung sejak 2003, dan dirumuskan naskah akademiknya pada 2010. Menurut Endah, sengketa yang melibatkan masyarakat adat terjadi akibat tidak disahkannya RUU tersebut.
Endah menyebutkan negara belum memahami konsep-konsep di masyarakat adat itu seperti apa, jadi perlu ada keterlibatan tokoh-tokoh adat dan agama dalam pelegalan beleid tersebut. “RUU ini menjadi jalan satu-satunya negara untuk memahami masyarakat adat. RUU tidak jalan karena tokoh adat, agama, ahli tidak dilibatkan," kata dia.
Selama ini, kata Endah, kepentingan negara seolah-olah menggusur kepentingan masyarakat adat. Seharusnya, menurut dia, pembangunan dilakukan dengan proses dialog ke bawah dengan melibatkan masyarakat adat, tidak hanya berlandaskan kepentingan negara.
“Makanya, ketika membangun harus ada dialog. Tokoh agama, tokoh adat, ahli itu harus diajak. Contohnya di masyarakat Maluku itu, ada konsep sasi atau larangan panen sebelum waktunya. Nah, ini kan merupakan tradisi mereka dalam melindungi ekosistem mereka," kata dia.
“Konsep seperti ini yang harus dimengerti oleh pemerintah, tidak hanya bangun sini, bangun sana, ganti rugi sini, ganti rugi sana. Tidak seperti itu,” ujar Endah menambahkan.
Salah satu konsep pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat, menurutnya, adalah pembangunan IKN atau Ibu Kota Nusantara. Menurut Endah, pembangunan IKN berpotensi mengakibatkan 21 etnik atau suku bangsa bisa punah.
Ia mengatakan potensi itu muncul karena belum dilibatkannya masyarakat adat serta belum mengertinya negara dengan konsep-konsep yang ada dalam masyarakat.
“Sebanyak 21 etnik lho, dan ketika punah, bukan hanya etnik, tapi juga flora dan fauna akan hilang. Karena, orang-orang zaman dulu kan harus memperhatikan ekologi. Kalau etnik-etnik tersebut punah, maka tradisi berlandaskan ekologis pun akan hilang,” ungkapnya.
Menurut Endah, negara harusnya melindungi dan mempertahankan masyarakat adat. Karena, kata dia, Indonesia sendiri semakin waktu berjalan, semakin berkurang masyarakat adatnya. Tidak semua hal itu untuk pembangunan negara, ada kearifan lokal yang perlu dijaga.
Contoh lainnya pengabaian hak masyarakat, kata Endah, yakni masyarakat yang tinggal di hutan tidak memiliki KTP (kartu tanda penduduk), padahal mereka sudah tinggal di hutan tersebut jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Mereka kan lahir sebelum itu. Tanah itu kan sudah dimiliki oleh mereka. Masyarakat adat dianggap belum memiliki hak berupa sertifikat tanah, dianggap bukan hak mereka. Padahal ketika membangun rumah atau sumur, mereka selalu mencantumkan tanggal pembuatan. Itu kan bukti yang otentik, melebihi sertifikat negara,” kata dia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.