Studi: Hanya Tujuh Negara Penuhi Standar Kualitas Udara WHO, Indonesia Belum

Reporter

Terjemahan

Editor

Abdul Manan

Rabu, 20 Maret 2024 08:21 WIB

Gedung-gedung diselimuti polusi udara di kawasan Kota Jakarta, Selasa 24 Oktober 2024. Kualitas udara di Jakarta pada Selasa (24/10/2023) pagi tidak sehat dan menempati peringkat ke 4 terburuk di dunia. Berdasarkan data IQAir, tingkat polusi di Ibu Kota berada di angka 170 AQI US pada pukul 06.00 WIB. Peringkat kualitas udara Jakarta saat ini berada di posisi ke-4 di dunia dengan indikator warna merah, yang artinya tidak sehat. Adapun indikator warna lainnya yaitu ungu yang berarti sangat tidak sehat, hitam berbahaya, hijau baik, kuning sedang, dan oranye tidak sehat bagi kelompok sensitif. TEMPO/Subekti.

TEMPO.CO, Jakarta - IQAir, organisasi pemantau kualitas udara asal Swiss, menyebut hanya tujuh negara yang memenuhi standar kualitas udara internasional. Dari 134 negara dan wilayah yang disurvei dalam laporan ini, hanya tujuh negara yang memenuhi batasan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk partikel kecil di udara yang dikeluarkan oleh proses industri, mobil, dan truk. Tujuh negara itu masing-masing: Australia, Estonia, Finlandia, Grenada, Islandia, Mauritius, dan Selandia Baru.

Dalam laporan IQAir, kualitas udara sebagian besar wilayah di Indonesia masih di atas ambang batas aman WHO. Satu daerah yang disebut "aman" kualitas udaranya, yaitu sesuai ambang batas WHO, adalah Mamuju, salahs atu kabupaten di Sulawesi Selatan.

Sebagian besar negara gagal memenuhi standar PM2.5 ini, sejenis jelaga mikroskopis yang berukuran lebih kecil dari lebar rambut manusia yang jika terhirup dapat menyebabkan banyak sekali masalah kesehatan. Seperti dilansir media Inggris Guardian, laporan IQAir itu berdasarkan data dari lebih dari 30.000 stasiun pemantauan di seluruh dunia.

Meskipun udara dunia secara umum jauh lebih bersih dibandingkan abad-abad yang lalu, masih ada tempat-tempat yang tingkat polusinya sangat berbahaya. Menurut laporan IQAir, negara yang paling berpolusi adalah Pakistan, dengan tingkat PM2.5 14 kali lebih tinggi dibandingkan standar WHO. Peringkat berikutnya adalah India, Tajikistan, dan Burkina Faso.

Bahkan di negara-negara kaya dan berkembang pesat, kemajuan dalam mengurangi polusi udara masih terancam. Kanada menjadi negara dengan jumlah PM2.5 terburuk pada tahun lalu karena rekor kebakaran hutan yang melanda negara tersebut, yang menyebabkan gas beracun menyebar ke seluruh negeri dan ke tetangganya, Amerika Serikat.

Advertising
Advertising

Di Cina, kata laporan IQAir, peningkatan kualitas udara dipersulit tahun lalu karena kembali pulihnya aktivitas ekonomi pasca pandemi Covid-19. Peningkatan tingkat PM2.5 di negara ini sebesar 6,5%. "Sayangnya segalanya telah berjalan mundur," kata Glory Dolphin Hammes, kepala eksekutif IQAir Amerika Utara seperti dikutip Guardian.

Polusi udara diperkirakan membunuh 7 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia, lebih banyak dibandingkan angka kematian akibat AIDS dan malaria. Beban ini paling berat dirasakan di negara-negara berkembang yang bergantung pada bahan bakar kotor untuk pemanasan, penerangan, dan memasak di dalam ruangan.

WHO sebenarnya menurunkan pedoman tingkat PM2.5 yang "aman" pada tahun 2021 menjadi lima mikrogram per meter kubik. Namun dengan pedoman ini saja masih banyak negara, seperti negara-negara di Eropa yang sudah melakukan pembersihan udara secara signifikan dalam 20 tahun terakhir, masih gagal mencapai ambang udara aman.

Pedoman yang lebih ketat dari WHO ini mungkin tidak sepenuhnya mencakup risiko dari bahaya polusi udara. Penelitian yang dirilis oleh para ilmuwan Amerika Serikat sebelumnya menemukan bahwa tidak ada tingkat PM2.5 yang aman. Bahkan paparan terkecil pun dikaitkan dengan peningkatan kasus rawat inap karena penyakit jantung dan asma.

Hammes mengatakan, negara-negara harus bertindak untuk menjadikan kota mereka lebih nyaman untuk dilalui, dengan berjalan kaki dan tidak terlalu bergantung pada mobil, mengubah praktik kehutanan untuk membantu mengurangi dampak asap kebakaran hutan, dan bergerak lebih cepat untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. "Kita berbagi atmosfer dengan semua orang di dunia dan kita perlu memastikan bahwa kita tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain di tempat lain," katanya.

Berita terkait

Waspada Heat Wave, Apa Penyebab dan Bahayanya?

16 jam lalu

Waspada Heat Wave, Apa Penyebab dan Bahayanya?

Heat wave atau gelombang panas dapat menyebabkan dampak negatif bagi tubuh dan kulit, seperti heat stroke dan kanker kulit. Apa penyebabnya?

Baca Selengkapnya

WHO: Hampir 10 Persen Makanan di Indonesia Tinggi Lemak Trans

3 hari lalu

WHO: Hampir 10 Persen Makanan di Indonesia Tinggi Lemak Trans

Ada banyak dampak buruk konsumsi lemak trans dalam kadar yang berlebih. Salah satu dampak buruknya adalah tingginya penyakit kardiovaskular.

Baca Selengkapnya

Top 3 Dunia: India Tak Terima Tuduhan Xenofobia Biden Hingga Gencatan Senjata Gaza

4 hari lalu

Top 3 Dunia: India Tak Terima Tuduhan Xenofobia Biden Hingga Gencatan Senjata Gaza

Berita Top 3 Dunia pada Sabtu 4 Mei 2024 diawali penolakan India soal tudingan xenofobia oleh Presiden AS Joe Biden

Baca Selengkapnya

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

5 hari lalu

Hamas: Netanyahu Berusaha Gagalkan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza

Pejabat senior Hamas mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berupaya menggagalkan kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

Baca Selengkapnya

WHO: Rencana Darurat Tak Bisa Cegah Kematian jika Israel Lakukan Serangan Darat di Rafah

5 hari lalu

WHO: Rencana Darurat Tak Bisa Cegah Kematian jika Israel Lakukan Serangan Darat di Rafah

WHO mengatakan tidak ada rencana darurat yang dapat mencegah "tambahan angka kematian" di Rafah jika Israel menjalankan operasi militernya di sana.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

7 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

10 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

Kemenkes, UNDP dan WHO kolaborasi proyek perkuat layanan kesehatan yang siap hadapi perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

12 hari lalu

Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

Pada Sabtu pagi pukul 07.02 WIB Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta berada di angka 122 atau masuk dalam kategori tidak sehat.

Baca Selengkapnya

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

13 hari lalu

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

Langkah ini untuk menghindari kebingungan penularan wabah yang terjadi di awal pandemi COVID-19, yang menyebabkan korban jiwa yang cukup signifikan.

Baca Selengkapnya

Prediksi Cuaca BMKG: Jakarta Hanya Cerah di Pagi Hari, Siap-siap Hujan Petir

20 hari lalu

Prediksi Cuaca BMKG: Jakarta Hanya Cerah di Pagi Hari, Siap-siap Hujan Petir

Jakarta diprediksi hujan sejak siang, Jumat. 19 April 2024. BMKG memprediksi hujan petir turun di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Baca Selengkapnya