CEO-nya Ditangkap di Prancis, Ini Profil Telegram dan Hubungannya dengan Pemerintah Rusia
Reporter
Alif Ilham Fajriadi
Editor
Abdul Manan
Senin, 26 Agustus 2024 08:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pavel Durov, miliarder Rusia-Prancis ditangkap di bandara Bourget, Prancis, Sabtu malam, 24 Agustus 2024. Penangkapan CEO aplikasi perpesanan Telegram ini berdasarkan surat perintah dari kepolisian Prancis, yang diduga berkaitan dengan aktivitas Telegram selama ini.
Pavel Durov bersama saudaranya Nikolai mendirikan perusahaan aplikasi itu sejak 2013, dan menjadi platform media sosial Rusia yang terbesar di pasar domestik kala itu. Mulanya, Telegram berkantor pusat di St. Petersburg, namun karena permasalahan yurisdiksi kini beroperasi di Dubai.
Disadur dari laporan Business of Apps, Telegram telah memiliki 800 juta pengguna aktif bulanan. Jumlah ini termasuk tinggi dibanding Thread yang 200 juta. Namun masih ketinggalan dibanding WhatsApp dan Instagram yang berada di angka 2 miliar pengguna aktif bulanan.
Perbedaan paling mencolok antara Telegram dan aplikasi perpesan seperti WhatsApp, terletak pada soal keamanannya. Telegram memberikan fasilitas obrolan rahasia yang hanya tersimpan di perangkat pengguna, bukan di cloud perusahaan. Ini membuat siapapun tidak bisa mengecek pesan antar pengguna.
Platform ini juga tidak menjual ruang iklan. Mereka menyatakan bahwa akses ke data pribadi yang diperoleh pengiklan akan bertentangan dengan etos aplikasi tersebut. Bahkan, pendanaannya sejauh ini masih berasal dari Pavel Durov secara pribadi, walau ada sokongan dana dari akses premium. Omzetnya US$ 45 juta atau Rp 693 miliar, dana yang diklaim hanya cukup untuk pengembangan aplikasi saja.
Telegram sudah diunduh dua miliar kali sejak awal dirilis pada 2013. Ada 15 miliar pesan dikirim setiap harinya melalui aplikasi tersebut sepanjang 2016 hingga sekarang. Data ini terungkap dari statistik platform itu yang dianalisis oleh Business of Apps.
Hubungan Telegram dengan Pemerintah Rusia
Setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada 2022, Telegram telah menjadi sumber utama konten yang tidak difilter dari kedua belah pihak tentang perang dan politik seputar konflik tersebut.
Platform tersebut telah menjadi apa yang oleh beberapa analis disebut sebagai 'medan perang virtual' untuk perang tersebut. Aplikasi ini digunakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan para pejabatnya, serta pemerintah Rusia.
Telegram memungkinkan pengguna menghindari pengawasan resmi pemerintah. Inilah yang membuat platform ini menjadi salah satu dari sedikit tempat di mana warga Rusia dapat mengakses berita independen tentang perang tersebut setelah ada pembatasan pemerintah pada media independen menyusul invasinya ke Ukraina.
Rusia mulai memblokir Telegram pada tahun 2018 setelah aplikasi tersebut menolak untuk mematuhi perintah pengadilan untuk memberikan akses layanan keamanan negara ke pesan terenkripsi milik penggunanya.
Pemblokiran tersebut mengganggu banyak layanan pihak ketiga, tetapi hanya berdampak kecil pada ketersediaan Telegram di sana. Namun, langkah pemerintah ini memicu protes massal di Moskow dan kritik dari lembaga swadaya masyarakat.
Kementerian luar negeri Rusia mengatakan, kedutaan besarnya di Paris sedang mengklarifikasi situasi yang dihadapi Durov.
Pilihan Editor: Pakar UGM: Tak Perlu Khawatir Berlebihan soal Gempa Megathrust, Tapi Harus Bersiap