TEMPO Interaktif, Jakarta - Macan tutul itu diam saja meski puluhan warga merubung kandang yang sempit. Darah kering tampak di kulit muka, rahang, dan kaki. Kaki depan bagian kanannya buntung setelah terjerat jebakan warga di lereng Gunung Semeru, Desa Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Warga yang kesal karena hewan peliharaannya banyak dimangsa memang memukuli macan tutul Jawa Panthera pardus itu. Aparat Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur yang mengetahui aksi pada 29 Mei lalu itu datang menjemput dan membawa macan tersebut ke Taman Safari Indonesia (TSI) II Prigen, Pasuruan. "Macan dalam kondisi stres setelah dikurung warga selama dua hari," kata dokter hewan TSI II Prigen, Ivan Candra. Selama tiga hari satwa endemik Jawa ini tak menyentuh daging yang disediakan petugas.
Dokter hewan Taman Safari memantau perkembangan kesehatan satwa endemik Jawa ini.
Pekan lalu, kesehatannya mulai pulih dengan memamerkan gerakan yang lincah dengan naik-turun meja berbahan beton di dalam kandang. Nafsu makannya pun mulai pulih, satu kilogram daging kambing habis disantapnya. Namun Ivan risau karena keempat taring macan itu keropos, dan taring kiri bawahnya patah. Tak mungkin hewan berbobot 25 kilogram itu dilepas kembali ke habitatnya karena ia bisa mati jika bertarung dengan satwa sejenis.
Sesuai dengan sifatnya, macan tutul merupakan hewan soliter atau menyendiri hanya dengan keturunannya. Daerah jelajah pun ditandai, bahkan pertarungan tak terelakkan untuk memperebutkan daerah kekuasaannya. Selain itu, dengan kondisi yang lemah, macan ini akan kesulitan mencari dan berebut mangsa buruan.
Proses pemulihan serta perawatan luka-luka macan ini diperkirakan membutuhkan waktu 4-5 bulan. Rencananya, macan berumur 15 tahun ini ditempatkan di kandang berbeda. Sebab, jika dicampur dengan enam macan tutul, dikhawatirkan ia bertarung dengan macan sejenis. TSI II memiliki koleksi enam ekor macan tutul: tiga jantan dan tiga betina. "Khawatir menjadi bulan-bulanan, tubuhnya kan kurang sempurna," ujar Ivan.
Hingga kini, manajemen TSI II Prigen belum merencanakan apakah satwa itu akan dipamerkan dalam kandang yang sama. Sedangkan General Manager TSI II Prigen Michael Sumampau merencanakan mengawinkan macan tutul itu dengan tiga induk betina koleksi Taman Safari. Michael mengaku kesulitan mengembangbiakkan macan tutul Jawa lantaran di antaranya terdapat macan tutul dengan silsilah keturunan yang sama. Jika dikawinkan, dikhawatirkan mereka menghasilkan keturunan yang tak sempurna seperti di alam liar. "Selama dua tahun belum berhasil membiakkan macan tutul," katanya.
Chairman ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, mengusulkan, setelah macan tutul itu pulih, segera dikembalikan ke habitat aslinya di lereng Gunung Semeru. Namun, dengan kondisi cacat, satwa itu harus dilindungi dan ditempatkan dalam kandang yang luas agar bisa bergerak leluasa sesuai dengan perilaku di alam. Prinsip kesejahteraan satwa, katanya, harus diterapkan.
Namun upaya mengawinkannya dengan induk koleksi TSI dikhawatirkan memperpanjang siklus penangkapan satwa di alam. Sebab, penangkaran satwa akan membutuhkan darah baru untuk menyegarkan genetika turunan satwa. Jika terjadi perkawinan antarketurunan, akan memunculkan sifat buruk, di antaranya mandul, fisik cacat, penampilan buruk, serta rentan terhadap penyakit menular.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, diatur penangkaran satwa untuk menjaga kemurnian genetika. Selain itu, melarang perkawinan silang, karena perkawinan keturunan yang sama akan mengacaukan genetika satwa.
Menurut Rosek, fenomena macan turun ke perkampungan terjadi karena habitat mereka terdesak oleh permukiman atau jumlah makanan alami, seperti rusa, kijang, dan babi hutan, mereka menipis akibat perburuan. Macan memangsa hewan ternak di perkampungan yang berbatasan dengan habitatnya di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Dalam dua tahun terakhir, macan memangsa hewan ternak milik warga desa yang tinggal berbatasan dengan Taman Nasional.
Diperkirakan populasi macan tutul Jawa di TNBTS tinggal 20-50 ekor. Kesimpulan itu didapat melalui penelitian yang dilakukan Pro Fauna Indonesia 2000 saat melakukan pengamatan elang Jawa. Data itu diperoleh lewat metode perjumpaan langsung, kotoran yang ditinggalkan, serta jejak di tanah. Diyakini populasi hewan itu di alam semakin berkurang akibat laju kerusakan hutan dan aksi perburuan satwa di Taman Nasional.
Populasi macan tutul merosot akibat semakin menipisnya hutan di Jawa serta banyaknya penangkapan liar. Sejak 2007, hewan ini dimasukkan ke daftar merah International Union for Conservation of Nature serta daftar Convention on International Trade in Endangered Species Appendix I. Artinya, segala bentuk perdagangannya, dengan mengambil dari habitatnya, akan ditolak di dunia internasional. Dikategorikan sebagai satwa dilindungi dan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Perburuan satwa liar tak hanya dilakukan masyarakat di sekitar hutan, tapi juga sejumlah oknum polisi, tentara, dan warga. Mereka menggunakan senapan laras panjang, hewan buruan di antaranya rusa, kijang, dan babi hutan. "Petugas harus memperketat pengawasan kawasan," kata Rosek.
Macan tutul Jawa aktif pada malam hari untuk berburu. Mereka juga cakap dalam memanjang pohon. Macan itu terbagi dalam dua jenis, dibedakan atas warna kulit tutul dan hitam legam. Perbedaan warna kulit terjadi karena perbedaan pigmen kulit. Kawanan macan tutul bersembunyi di gua tebing atau ceruk sebagai sarang. Status macan tutul dilindungi artinya dilarang ditangkap, dipelihara, dan diperdagangkan. "Satwa ini langka," ujarnya.
Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mencatat, tingkat perburuan satwa di kawasan lindung cukup tinggi. Pada 2010, petugas memergoki seorang pemburu burung. Petugas menyita empat jaring dengan lebar masing-masing 25 meter. Namun pelaku berhasil melarikan diri dari kejaran petugas. "Jumlah personel tak cukup mengawasi kawasan," kata juru bicara BB TNBTS, Nova Elina.
Selama lima tahun terakhir, petugas menemukan 13 orang yang melakukan perburuan di dalam kawasan Taman Nasional. Sebagian besar pelaku memburu aneka burung--sebanyak 85 jenis burung hidup di Taman Nasional. Namun selama ini tak ada pelaku yang dilimpahkan proses hukum ke persidangan. Pertimbangannya, sebagian karena bukti tak cukup. "Biasanya didenda 2.000 bibit tanaman," ujarnya.
Sebagai upaya mencegah perburuan, petugas TNBTS bersama polisi dan kepolisian hutan dari Perhutani melakukan patroli rutin. Sasarannya adalah sejumlah titik yang kerap menjadi pintu masyarakat untuk memburu satwa liar. Nova mengaku tak memiliki data populasi macan tutul, karena selama ini tak ada penelitian yang memantau populasi macan tutul.
Eko Widianto