Tren Bisnis Go-Jek, GrabTaxi, Uber:Revolusi Sebuah Taksi  

Senin, 15 Juni 2015 15:25 WIB

Taxi Uber yang diitawarkan pada situs uber.com. uber.com

TEMPO.CO, Jakarta - Mungkin hanya orang-orang tua atau old school yang ngotot bahwa dunia digital belum akan menghancurkan bisnis konvensional. Tak perlu menjadi pakar dotcom atau meneliti seberapa besar penurunan pendapatan media cetak untuk mafhum soal ini.

Mari melongok pada industri taksi dan ojek. Mumpung di Indonesia, taksi dan ojek digital, seperti Uber, GrabTaxi, Go-jek, dan GrabBike, sedang menjadi omongan.

Di kota-kota besar, seperti New York dan London, kehadiran taksi digital, seperti Uber dan Lyft. Sebelum kehadiran taksi digital, rata-rata New Yorker dan Londoner umumnya mengeluarkan uang US$ 238 (sekitar Rp 3,2 juta) per tahun untuk membayar taksi. Di Jakarta, pasti lebih besar lagi, karena dari Senayan City ke Jatiwaringin saja sudah hampir Rp 100 ribu tarif sekali jalan. Setahun bisa dibayangkan berapa kali naik taksi bila berkantor di sekitar pusat belanja itu.

Sejak kehadiran taksi digital Uber dan Lyft, lanskap bisnis taksi berubah total. Taksi Uber dan Lyft merupakan layanan taksi berbasis digital. Orang tak perlu menelepon atau mencegat di jalan untuk mendapatkan taksi. Cukup unduh aplikasi, klik, dan pesan taksi. Taksi-yang tak perlu izin bisnis taksi, karena hanya memakai mobil pribadi biasa-akan datang menjemput. Enak, bukan?

Itulah sebabnya, popularitas taksi Uber dan Lyft meroket pesat. Uber, sampai Desember 2014, sudah membuka cabang di 266 kota dan 54 negara, termasuk di Jakarta, Bandung, dan Denpasar. Pendapatan mereka mencapai US$ 2 miliar dan tahun ini diperkirakan menembus angka US$ 10 miliar (sekitar Rp 13,5 triliun). Sekitar 20 persen dari angka itu dikantongi sebagai profit Uber. Lyft, yang datang belakangan, juga ketularan sukses. Pendapatan mereka mencapai US$ 250 juta dan membuka cabang di 70 kota.

Apa dampaknya terhadap taksi konvensional? Di New York, sopir-sopir taksi konvensional pun menjerit karena pendapatan mereka kini kalah dibanding sopir taksi Uber. Di New York, biasanya sopir taksi dalam setahun mendapat penghasilan US$ 31.553. Tapi sopir taksi Uber bisa meraih penghasilan US$ 63.128. Hal serupa terjadi di San Francisco. Pendapatan sopir taksi konvensional di sana rata-rata US$ 28.537, sedangkan pendapatan taksi uber US$48.921.

Betapa bisnis digital yang dipandang ecek-ecek oleh para pengusaha taksi konvensional kini mulai menggerogoti kue pasar.

Di Jakarta, mungkin Blue Bird dan Ekspres akan berkata, "Ah, itu kan di sono di Amerika. Di sini masih jauh."

Taksi Uber diam-diam juga sudah mencuri pasar. Para geek-seleb Twitter-mulai pindah ke taksi Uber. Awalnya, mereka menjajal Uber karena mobil taksinya memang mewah, seperti Alphard, Toyota Camry, atau sedan Mercedes. Namun, belakangan, mereka menjadi kecanduan karena kemudahan pemesanan dan murahnya ongkos taksi setelah Uber meluncurkan layanan UberX dengan mobil Avanza UberBlack dan layanan Toyota Innova. "Layanan Uber lebih murah 35 persen dari taksi biasa," begitu klaim General Manager Uber Asia Tenggara Mike Brown.

Penyedia layanan taksi asal Malaysia, GrabTaxi, juga ngiler melihat pasar taksi digital di Indonesia. Mereka menembak pasar taksi dan ojek dengan aplikasi GrabTaxi dan GrabBike. Layanan ojek GrabBike ini bisa meraih 8.000 pelanggan dalam waktu satu pekan.

Dunia digital telah membuka kotak Pandora.

*) Naskah ini dimuat juga di Koran Tempo 13 Juni 2014

Berita terkait

Strategi Lintasarta Dukung Dunia Bisnis

22 Februari 2021

Strategi Lintasarta Dukung Dunia Bisnis

Di 2021, Lintasarta tetap berkomitmen memberikan layanan terbaik untuk berbagai sektor industri.

Baca Selengkapnya

Curhat Alamanda Shantika ke Nadiem Makarim Saat Galau Soal Karier

14 November 2019

Curhat Alamanda Shantika ke Nadiem Makarim Saat Galau Soal Karier

Pendiri Binar Academy mengatakan pernah bingung antara mengikuti nasihat orang tua atau Nadiem Makarim.

Baca Selengkapnya

Gojek Akan Ekspansi ke Malaysia dan Filipina Tahun Depan

3 November 2019

Gojek Akan Ekspansi ke Malaysia dan Filipina Tahun Depan

Gojek akan melakukan ekspansi ke Malaysia dan FIlipina.

Baca Selengkapnya

Gojek Bongkar Rahasia Sukses di Program Gojek Xcelerate

10 September 2019

Gojek Bongkar Rahasia Sukses di Program Gojek Xcelerate

Super App Gojek bersama Digitaraya meluncurkan Gojek Xcelerate.

Baca Selengkapnya

Potongan Insentif Didemo, Gojek: Berlaku untuk Semua Ojek Online

8 September 2019

Potongan Insentif Didemo, Gojek: Berlaku untuk Semua Ojek Online

Gojek Indonesia mengonfirmasi bahwa pemotongan insentif untuk mitra pengemudi adalah kebijakan nasional.

Baca Selengkapnya

Ekspansi ke Malaysia, Gojek: Kami Terbuka dengan Kompetisi

27 Agustus 2019

Ekspansi ke Malaysia, Gojek: Kami Terbuka dengan Kompetisi

Chief Public Policy & Government Relations Gojek Group, Shinto Nugroho mengatakan Gojek pada dasarnya terbuka dengan kompetisi.

Baca Selengkapnya

Gojek Siap Kembangkan Pengembangan Gopay di Filipina

22 Juli 2019

Gojek Siap Kembangkan Pengembangan Gopay di Filipina

Perusahaan aplikasi Gojek tengah mengembangkan lini bisnis dompet digital atau GoPay ke pasar ASEAN, khususnya Filipina.

Baca Selengkapnya

Transaksi Go-Pay di Luar Aplikasi Go-Jek Naik 25 Kali Lipat

15 April 2019

Transaksi Go-Pay di Luar Aplikasi Go-Jek Naik 25 Kali Lipat

Pertumbuhan transaksi Go-Pay di luar layanan Go-Jek telah naik 25 kali lipat dari sejak diperkenalkan.

Baca Selengkapnya

Antar Pesanan Sate Ayam Jokowi, Driver Go-Jek Ini Dapat Sepeda

12 April 2019

Antar Pesanan Sate Ayam Jokowi, Driver Go-Jek Ini Dapat Sepeda

Jokowi bertemu mitra pengemudi Go-Jek, ia bercerita pernah memesan sate ayam melalui Go-Food.

Baca Selengkapnya

Jadi Decacorn Pertama di Indonesia, Go-Jek: Pasar Kami Tertinggi

5 April 2019

Jadi Decacorn Pertama di Indonesia, Go-Jek: Pasar Kami Tertinggi

Go-Jek berada di urutan ke-19 decacorn di dunia, dengan nilai valuasi US$ 10 miliar.

Baca Selengkapnya