Kerangka Ini Milik Nenek Moyang Baru Manusia  

Reporter

Senin, 21 September 2015 14:37 WIB

National Geographic menunjukkan sebuah rekontruksi wajah dari spesies terbaru, Homo Naledi yang ditemukan di Afrika Selatan yang diperlihatkan di Trumansburg, 10 September 2015. AP Photo

TEMPO.CO, Johannesburg - Kerangka manusia purba yang baru ditemukan di Afrika Selatan menarik perhatian para arkeolog. Meski volume otaknya hanya seukuran jeruk, manusia purba ini diperkirakan merupakan nenek moyang langsung Homo sapiens.

Kendati berotak kecil, spesies manusia yang dinamai Homo naledi itu telah melakukan ritual pemakaman. Fitur-fitur tubuhnya juga tak seperti manusia purba pada umumnya. Bentuk kakinya cocok untuk kehidupan di darat, sementara bentuk tangannya mendukung untuk kehidupan di pohon. Karakteristik tersebut membuat para ilmuwan harus menulis ulang kebangkitan era manusia modern.

Meski para ilmuwan belum yakin berapa usia fosil itu, Homo naledi diyakini merupakan anggota genus Homo. Tak hanya satu fosil, peneliti menemukan lebih dari 1.550 tulang dan potongan tulang yang diperkirakan merepresentasikan 15 individu berbeda, mulai dari bayi, anak-anak, dewasa, hingga manula.

"Dengan fitur tulang yang direpresentasikan berulang kali, Homo naledi menjadi fosil Homo terbaik yang pernah ditemukan," kata pemimpin studi, Lee Berger, pakar paleoantropologi dari University of Witwatersrand, di Johannesburg, Afrika Selatan.

Dalam jurnal eLIFE yang terbit pada 10 September 2015, Berger menulis, "Kami mencoba mengekstraksi DNA di dalam fosil untuk mencari tahu lebih dalam, termasuk umurnya."

Fosil tersebut pertama kali ditemukan pada 2013 di Gua Rising Star, yang berlokasi di situs Cradle of Humankind World Heritage, 50 kilometer barat laut Johannesburg. Kerangkanya ditemukan oleh Rich Hunter dan Steven Tucker, dua orang penjelajah gua, di kedalaman 90 meter.

Nama spesies itu diambil dari nama gua tempat fosil ditemukan. Dalam bahasa Sesotho, salah satu bahasa di Afrika Selatan, naledi berarti "bintang". Celah tempat tulang itu ditemukan kini dinamai "Dinaledi" alias "banyak bintang".

Untuk mencapai Dinaledi, para penjelajah harus mendaki bukit batu kapur curam yang dikenal dengan nama Punggung Naga. Setelah itu, mereka harus menuruni celah sempit selebar 18 sentimeter yang hanya dapat dimasuki orang bertubuh kecil.

Karena itu, para arkeolog yang tergabung dalam ekspedisi Rising Star merekrut enam ilmuwan perempuan bertubuh kecil agar bisa mencapai Dinaledi. Keenam perempuan itu dijuluki "Astronaut Bawah Tanah".

"Setiap hari mereka mempertaruhkan hidupnya untuk mengambil fosil yang luar biasa ini," kata Berger.

Dari Dinaledi, para peneliti berhasil mengumpulkan lebih dari 1.500 fragmen tulang. Kumpulan kerangka ini merupakan fosil hominin-manusia dari garis simpanse-terbanyak yang pernah ditemukan di Afrika.

Kerangka yang ditemukan rata-rata memiliki tinggi 1,5 meter dengan berat sekitar 45 kilogram. Volume otaknya hanya 500 sentimeter kubik, atau sebesar buah jeruk.

Ukurannya hampir mirip dengan otak Australopithecus sediba. Ini berarti otak Manusia Naledi jauh lebih kecil dibanding volume otak manusia modern lainnya yang mencapai 1.200-1.600 sentimeter kubik.

Yang juga menarik perhatian para peneliti adalah fitur tubuh campuran antara kera primitif dan hominin modern. Salah satunya adalah fungsi tangan dan kaki. Sebelumnya, ada teori yang menyatakan bahwa fungsi campuran ini perlu didukung oleh volume otak. Ternyata teori tersebut tak sepenuhnya benar. "Manusia Naledi berotak kecil," kata Tracy Kivell, anggota penelitian dari University of Kent, Inggris, seperti dikutip dari Live Science.

Kakinya yang panjang, kata Will Harcourt-Smith, anggota peneliti, membuktikan bahwa Homo naledi lama tinggal di darat. "Sekaligus tinggal di pohon, tergantung kebutuhan untuk menghindari predator," ujar dia, yang juga pakar paleoantropologi di American Museum of Natural History di New York.

Fitur unik Manusia Naledi lainnya terlihat pada gigi kecil, rahang ramping, dan tengkorak yang mirip dengan genus Homo generasi awal. Namun bentuk pundaknya masih seperti kera. Kombinasi ini, menurut para peneliti, tak pernah ditemukan sebelumnya. Menariknya lagi, mereka telah mengenal sistem penguburan. "Metode yang bernuansa ritual ini hanya dijalankan oleh manusia modern."

Dinaledi, tempat ditemukannya kerangka Manusia Naledi, bisa dikatakan tempat terpencil dari Gua Rising Star. Tapi di tempat ini tak satu pun ditemukan bukti keberadaan air maupun bekas-bekas gigitan binatang buas dan sayatan praktek kanibalisme dari kerangka Manusia Naledi. Karena itu, para peneliti berasumsi manusia purba yang diduga tertua ini hidup sepanjang hari di gua tersebut dari waktu ke waktu.

Belum jelas kenapa Homo naledi melakukan praktek penguburan. Beberapa asumsi bermunculan, seperti menyingkirkan bau mayat, atau dibuang oleh spesies manusia purba lainnya.

Dalam jurnal, Berger menyatakan bahwa umur kerabat manusia ini masih belum jelas. Sebab, belum ada sampel dari Dinaledi yang bisa mengungkap umur Manusia Naledi.

eLIFE | LIVE SCIENCE| AMRI MAHBUB

Berita terkait

Mengenal Guinea, Lawan Timnas Indonesia U-23 di Playoff Olimpiade Paris 2024

1 hari lalu

Mengenal Guinea, Lawan Timnas Indonesia U-23 di Playoff Olimpiade Paris 2024

Timnas Indonesia U-23 harus menang melawan Timnas Guinea U-23 jika ingin lolos Olimpiade Paris 2024.

Baca Selengkapnya

10 Negara Termiskin di Dunia Berdasarkan PDB per Kapita

10 hari lalu

10 Negara Termiskin di Dunia Berdasarkan PDB per Kapita

Berikut ini daftar negara termiskin di dunia pada 2024 berdasarkan PDB per kapita, semuanya berada di benua Afrika.

Baca Selengkapnya

Profesor Riset Termuda BRIN Dikukuhkan, Angkat Isu Sampah Indonesia yang Cemari Laut Afrika

11 hari lalu

Profesor Riset Termuda BRIN Dikukuhkan, Angkat Isu Sampah Indonesia yang Cemari Laut Afrika

Reza dikukuhkan sebagai profesor riset berkat penelitian yang dilakukannya pada aspek urgensi pengelolaan plastik.

Baca Selengkapnya

Kilas Balik 69 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Dampaknya bagi Dunia

18 hari lalu

Kilas Balik 69 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Dampaknya bagi Dunia

Hari ini, 69 tahun silam atau tepatnya 18 April 1955, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat.

Baca Selengkapnya

Industri Mobil Listrik Ancam Sepertiga Populasi Kera Besar di Hutan-hutan Afrika

29 hari lalu

Industri Mobil Listrik Ancam Sepertiga Populasi Kera Besar di Hutan-hutan Afrika

Penelitian mengungkap dampak dari tambang mineral di Afrika untuk memenuhi ledakan teknologi hijau di dunia terhadap bangsa kera besar.

Baca Selengkapnya

Ribuan Anak Afrika Terserang Sindrom Mengangguk, Gangguan Saraf yang Masih Misterius

38 hari lalu

Ribuan Anak Afrika Terserang Sindrom Mengangguk, Gangguan Saraf yang Masih Misterius

Sindrom mengangguk menyerang ribuan anak di Afrika. Gangguan saraf ini masih misterius dan belum diketahui pasti penyebabnya.

Baca Selengkapnya

Dibesarkan dari Lahir, Singa Terkam Penjaga hingga Tewas

21 Februari 2024

Dibesarkan dari Lahir, Singa Terkam Penjaga hingga Tewas

Seekor singa jantan membunuh penjaga yang telah merawatnya dari bayi saat sedang diberi makan.

Baca Selengkapnya

Daya Tarik Malawi yang Baru Menerapkan Bebas Visa untuk 79 Negara

16 Februari 2024

Daya Tarik Malawi yang Baru Menerapkan Bebas Visa untuk 79 Negara

Baru-baru ini, Malawi menerapkan bebas visa masuk untuk 79 negara

Baca Selengkapnya

Mengaku Bawa Ikan Kering, Turis Amerika Ini Kedapatan Bawa Mumi Monyet dari Afrika

13 Februari 2024

Mengaku Bawa Ikan Kering, Turis Amerika Ini Kedapatan Bawa Mumi Monyet dari Afrika

Keberadaan bangkai monyet itu diketahui setelah seekor anjing Bea Cukai mengendus sesuatu yang tidak biasa di bagasi seorang pelancong dari Afrika.

Baca Selengkapnya

Memiliki Kenakeragam Hayati, Liberia Menjadi Rumah Hutan Hujan Lebat Dunia

17 Januari 2024

Memiliki Kenakeragam Hayati, Liberia Menjadi Rumah Hutan Hujan Lebat Dunia

Berbagai ragam hayati yang dimiliki oleh negara Liberia, negara ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang melimpah

Baca Selengkapnya