Kiamat Letusan Toba, Supervolcano dari Indonesia

Reporter

Jumat, 10 Juni 2016 23:01 WIB

Pemandangan Danau Toba yang dilihat dari desa Tongging, Karo, Sumut, Sabtu (25/01). Tempo/Dian Triyuli Handoko

TEMPO.CO, Copenhagen - Sekitar 74 ribu tahun lalu, gunung berapi Toba di Pulau Sumatera meletus dahsyat dan mengakibatkan bencana global. Letusannya diperkirakan 5.000 kali lebih besar dibanding letusan Gunung St Helens di Amerika Serikat pada 1980, bahkan menjadi bencana vulkanis terbesar di bumi selama 2 juta tahun terakhir.

Toba memuntahkan lava yang cukup guna membangun dua Gunung Everest. Gunung api itu juga melontarkan abu yang sangat banyak ke atmosfer dan menghalangi sinar matahari sehingga mengakibatkan bumi gelap sepanjang hari selama bertahun-tahun, seperti sudah kiamat. Letusan dahsyat Toba meninggalkan bekas berupa kawah berdiameter rata-rata 50 kilometer yang kini dikenal sebagai Danau Toba.

Letusannya ini membuat Toba diklasifikasi sebagai gunung berapi raksasa (supervolcano). Tak hanya abu, Toba mengirim cukup banyak asam sulfat ke atmosfer guna membuat hujan asam di daerah kutub bumi. Informasi ini diperoleh setelah para ilmuwan mengais jejak sisa asam sulfat dalam inti es kutub yang dalam.

"Kami melacak jejak hujan asam dalam lapisan es di Greenland dan Antartika," kata Anders Svensson, ahli gletser dari Institut Niels Bohr di Universitas Copenhagen, Denmark.

Inti es bisa memberikan bukti lebih detail soal iklim bumi yang berubah drastis hanya dalam beberapa tahun setelah letusan dahsyat Toba. Para ilmuwan sebelumnya memperkirakan bahwa letusan supervolcano akan memicu pendinginan global hingga 10 derajat Celsius selama beberapa dekade. Namun inti es di kedua kutub menunjukkan pendinginan yang terjadi dalam waktu yang lebih pendek dan tidak konsisten di seluruh belahan bumi.

"Tidak ada pendinginan global yang merata akibat letusan Toba," kata Svensson, mengacu kurva temperatur inti es. Menurut dia, fluktuasi pendinginan suhu yang besar hanya dijumpai di belahan bumi utara, sedangkan di belahan bumi selatan lebih hangat. "Kondisi ini mengakibatkan pendinginan global terjadi dalam periode singkat."

Bukti yang ditemukan Svensson dan rekan-rekannya menjanjikan jalan keluar bagi sejumlah perdebatan arkeologi. Letusan Toba terjadi di titik kritis dalam sejarah manusia purba ketika Homo sapiens pertama kali keluar dari Afrika ke Asia. Namun ada perbedaan pendapat yang kentara soal nasib manusia awal yang terkena dampak letusan Toba. "Apakah sebagian besar penghuni bumi musnah oleh letusan itu?"

Ia mengatakan bahwa lapisan abu vulkanis dari letusan Toba ditemukan di sebagian besar wilayah Asia. Material letusan ini digunakan sebagai petunjuk arkeologi kuno yang sangat penting mewakili peradaban yang dianggap terlalu tua guna dilakukan penanggalan karbon. Sedangkan analisis inti es menyediakan informasi lainnya guna menempatkan temuan arkeologi kuno secara lebih akurat.

"Posisi letusan Toba dalam rekaman inti es akan menempatkan temuan arkeologis dalam konteks iklim. Ini akan sangat membantu menjelaskan periode kritis sejarah manusia," kata Svensson. Penelitian ini secara perinci dimuat dalam jurnal Climate of the Past.

CLIMATE OF THE PAST | AMRI MAHBUB

Berita terkait

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

1 hari lalu

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.

Baca Selengkapnya

Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

41 hari lalu

Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

Keramaian dan banyak teman di sekitar ak lantas membuat orang bebas dari rasa sepi dan 40 persen orang mengaku tetap kesepian.

Baca Selengkapnya

Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

41 hari lalu

Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

Cukup banyak kerusakan yang telah terjadi di Laut Cina Selatan, di antaranya 4 ribu terumbu karang rusak.

Baca Selengkapnya

Pembangunan di Laut Cina Selatan Merusak Ekosistem dan Terumbu Karang

41 hari lalu

Pembangunan di Laut Cina Selatan Merusak Ekosistem dan Terumbu Karang

Banyak pembahasan soal keamanan atau ancaman keamanan di Laut Cina Selatan, namun sedikit yang perhatian pada lingkungan laut

Baca Selengkapnya

Dua Bulan Lagi, Stanford University Bakal Groundbreaking Pusat Ekosistem Digital di IKN

31 Januari 2024

Dua Bulan Lagi, Stanford University Bakal Groundbreaking Pusat Ekosistem Digital di IKN

Stanford University, Amerika Serikat, merupakan salah satu universitas yang akan melakukan groundbreaking pusat ekosistem digital di IKN.

Baca Selengkapnya

Tinjau Pabrik Motherboard Laptop Merah Putih, Dirjen: Riset Perlu Terhubung Industri

29 Januari 2024

Tinjau Pabrik Motherboard Laptop Merah Putih, Dirjen: Riset Perlu Terhubung Industri

Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi meninjau pabrik motherboard dan menegaskan perlunya riset terhubung dengan industri.

Baca Selengkapnya

Jatam: Tiga Pasangan Capres Terafiliasi Oligarki Tambang

22 Januari 2024

Jatam: Tiga Pasangan Capres Terafiliasi Oligarki Tambang

Riset Jatam menelusuri bisnis-bisnis di balik para pendukung kandidat yang berpotensi besar merusak lingkungan hidup.

Baca Selengkapnya

Terkini: KPA Sebut PSN Jokowi Sumbang Laju Konflik Agraria Sepanjang 2020-2023, Bandara Banyuwangi Segera Layani Penerbangan Umroh

15 Januari 2024

Terkini: KPA Sebut PSN Jokowi Sumbang Laju Konflik Agraria Sepanjang 2020-2023, Bandara Banyuwangi Segera Layani Penerbangan Umroh

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebut Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah era Jokowi mendorong laju konflik agraria.

Baca Selengkapnya

BRIN: Pangan Jadi Salah Satu Prioritas Riset 2023, Kejar Target Hilirisasi

28 Desember 2023

BRIN: Pangan Jadi Salah Satu Prioritas Riset 2023, Kejar Target Hilirisasi

Dominasi riset bidang pangan sejalan dengan prioritas yang diminta oleh Presiden Joko Widodo.

Baca Selengkapnya

Ratih Kumala Ceritakan Proses Kreatif Penulisan Gadis Kretek

18 Desember 2023

Ratih Kumala Ceritakan Proses Kreatif Penulisan Gadis Kretek

Penulis novel Gadis Kretek Ratih Kumala menceritakan proses kreatif. Mengapa ia akhirnya menjadi seorang kolektor bungkus kretek.

Baca Selengkapnya