Bagaimana Nasib Pangan pada 2050? Ini Risetnya
Editor
Amri mahbub al fathon tnr
Jumat, 24 Juni 2016 04:00 WIB
TEMPO.CO, Paris - Pada 2050, populasi dunia akan mencapai sembilan miliar orang. Dengan perubahan iklim yang mulai menampakkan pengaruhnya saat ini, memberi makan sembilan miliar orang akan menjadi suatu tantangan besar. Namun sebuah laporan dua organisasi riset pertanian Prancis menyatakan masalah itu bisa diatasi.
Dalam laporan bersama itu diprediksi bahwa dunia akan mampu memberi makan seluruh populasi manusia pada 2050. Mereka memaparkan temuan dari 2006 hingga 2008 yang dapat memutarbalikkan sejumlah asumsi tentang kondisi pertanian global.
Laporan berjudul “Agrimonde” itu dipublikasikan oleh French National Institute for Agricultural Research (INRA) dan Centre for International Cooperation in Agronomic Research for Development (CIRAD) di Paris. Laporan itu berisi sejumlah temuan mengejutkan dari Afrika dan wilayah lain.
Produktivitas pertanian di Afrika, menurut laporan tersebut, akan berlipat ganda antara 1961 dan 2003. “Temuan ini memutarbalikkan sejumlah asumsi dan merupakan hasil riset kami yang paling mengagetkan,” demikian isi abstraksi laporan yang terbit dalam jurnal Nature tersebut.
Meski telah berlipat ganda, produktivitas Afrika tetap yang paling rendah di antara kawasan lain di dunia. Yakni, berkisar 10 ribu kilokalori per hektare (kcal/ha) dibanding produktivitas dunia, yang mencapai 20 ribu kcal/ha dan 25 ribu kcal/ha di Asia. Produktivitas di kawasan lain meningkat dua hingga tiga kali lipat selama periode yang sama.
Produktivitas Asia terhitung tinggi jika dibandingkan dengan kawasan lain dalam studi itu karena lembaga itu memperhatikan hasil secara keseluruhan, bukan hasil panen tahunan gandum, padi, dan tanaman pangan lain. “Di Asia, hasil panen gandum mungkin lebih rendah. Tapi, jika Anda memasukkan padi dan tanaman pangan lain yang ditanam pada tahun yang sama, total panenan jauh lebih tinggi,” kata Bruno Dorin, pakar ekonomi di CIRAD yang terlibat dalam studi itu.
Temuan lain yang menonjol adalah lahan pertanian potensial di berbagai penjuru dunia, terutama di Afrika dan Amerika Selatan. “Lahan pertanian yang saat ini 1,5 miliar hektare nantinya dapat dikembangkan menjadi 4 miliar, tapi tentu saja hal ini akan merambah padang rumput dan hutan, yang merupakan reservoir keanekaragaman hayati dan karbon,” kata Dorin.
Selanjutnya: Hasil studi itu diakui...
<!--more-->
Hasil studi itu diakui lebih merupakan konfirmasi ketimbang sesuatu yang mengejutkan bahwa dalam 15 tahun terakhir. Hasil panen gandum di Eropa dan wilayah utama lain seperti India utara mencapai stagnan. François Houllier, pejabat deputi direktur jenderal INRA untuk urusan organisasi ilmiah menyatakan hal itu sebagian disebabkan oleh penurunan input seperti pupuk dan perubahan dalam praktek pertanian. “Contohnya, para petani berhenti melakukan pergantian tanaman gandum dengan tanaman kacang-kacangan, yang memfiksasi nitrogen dalam tanah,” katanya.
Studi yang meliputi riset dan studi dua lembaga itu mengumpulkan sekitar 30 miliar data statistik dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Kesimpulannya, dunia akan mampu memberi makan populasi dunia, yang saat ini 7 miliar orang, dan akan melonjak menjadi sembilan miliar orang pada 2050.
Kesimpulan itu diambil dari dua skenario. Skenario pertama menekankan pertumbuhan ekonomi, tapi memberikan prioritas rendah pada lingkungan sedangkan skenario lain mementingkan kebutuhan untuk memberi makan sekian banyak penduduk dunia, tapi tetap melestarikan ekosistem.
Skenario kedua tersebut didasari oleh asupan pangan 3.000 kcal per orang tiap hari di seluruh wilayah bumi, termasuk 500 kcal/hari dari sumber pangan hewani, yang membutuhkan peningkatan 30 persen hasil produksi peternakan dibanding 80 persen dalam skenario pertama. Itu berarti akan ada pemangkasan konsumsi pangan besar-besaran di sejumlah negara dan peningkatan besar di negara lain.
Angka 3.000 kcal/hari adalah rata-rata asupan pangan individu dunia saat ini, dengan konsumsi berkisar dari 4.000 kcal/hari di negara industri anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) hingga kurang dari 2.500 kcal/hari di negara-negara Afrika yang terletak di selatan Gurun Sahara.
Laporan itu memang tak memperhitungkan isu detail, seperti penggunaan lahan, perubahan iklim, dan biofuel, yang akan diteliti lebih lanjut dalam studi mendatang serta melibatkan pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Kedua lembaga itu menekankan bahwa laporan ini tidak dapat dijadikan rekomendasi untuk pengambilan kebijakan. “Itu bukan tugas kami,” kata salah seorang pejabat INRA. Tujuan studi ini adalah mengidentifikasi masalah pertanian yang harus diantisipasi oleh komunitas peneliti internasional.
Perubahan kebutuhan pangan, standar kehidupan iklim, dan faktor lain membutuhkan riset yang lebih mendalam. Kedua lembaga itu telah mengawali beberapa program menanggapi masalah yang muncul dalam studi mereka. Termasuk di dalamnya, proyek kelestarian pangan, memperpanjang usia produksi binatang, regulasi pasar pangan, dan penggunaan konsorsium internasional untuk mengembangkan strategi produksi baru untuk padi, gandum, dan serealia lainnya. Salah satu prioritas utama lainnya adalah pemodelan penggunaan lahan.
NATURE | INRA | AMRI MAHBUB