Pengaruh Pohon di Perkotaan Diteliti, Hasilnya Mengejutkan
Editor
Nurdin Saleh TNR
Senin, 28 November 2016 15:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kota kian menghadapi tantangan lingkungan yang cukup serius. Salah satunya polusi udara yang berasal dari hasil industri dan bahan bakar kendaraan bermotor. Polutan particulate matters di atas 2,5 (PM2.5) tersebut, menurut hasil studi Harvard University bersama Greenpeace pada 2015, bisa membunuh 6,2 juta orang tiap tahun.
Menurut hasil studi The Nature Conservancy (TNC) Indonesia, sebetulnya jalan keluar dari permasalahan tersebut sangatlah sederhana. “Yakni memiliki pohon dan ruang terbuka hijau yang cukup,” ujar Delon Marthinus, forestry and climate change specialist dari TNC Indonesia, kepada Tempo saat ditemui di kantornya di Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan, Jumat, 18 November 2016.
Delon mengatakan studi yang dirilis pada awal November ini melihat peran pohon berdasarkan informasi geospasial pada hutan dan permukaan tanah, konsentrasi polutan PM2.5, serta kaitannya terhadap kepadatan penduduk di 245 kota di dunia, termasuk Jakarta. Setelah itu, para peneliti mengestimasi peran pohon dalam membuat udara kota lebih sehat pada masa mendatang. Dalam riset ini, TNC bekerja sama dengan C40 Cities, konsultan lingkungan yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
Pepohonan di 245 kota bisa mengurangi PM2.5 sedikitnya 10 mikrogram per meter kubik. Selain itu, ada 68,3 juta orang di luar 245 kota tersebut yang mendapatkan pengurangan suhu 0,5-2 derajat Celsius pada temperatur maksimum saat musim panas.
Hal itu, ujar Delon, secara tak langsung menjelaskan bahwa penanaman pohon di perkotaan bisa menjadi cara yang murah dan efektif untuk membuat udara lebih sehat. Dari perhitungan, tim mendapatkan angka investasi cukup US$ 4 per kepala untuk penanaman pohon.
Dampak lebih jauh, pohon bisa mengurangi kematian akibat PM2.5 sebesar 2,7-8,7 persen atau 11-36 ribu jiwa setiap tahun. “Biayanya rendah, tapi return of investment penanaman pohon lebih tinggi karena manfaatnya bisa dirasakan banyak orang di seluruh dunia,” tuturnya.
Begitu pula kematian akibat suhu tinggi. Pohon, kata Delon, bisa mengurangi mortalitas 2,4-5,6 persen atau 200-700 jiwa tiap tahun. Sebagai catatan, dengan potensi perubahan iklim yang kian meningkat, kematian akibat suhu tinggi bisa meningkat lebih dari 20 kali lipat. Yang jelas, Delon menekankan, studi mitigasi lingkungan perkotaan ini tak akan bisa berjalan lancar kalau tidak didukung intervensi kebijakan dari pemerintah kota masing-masing.
Selanjutnya: Bagaimana di Jakarta?
<!--more-->
Namun ternyata ruang terbuka hijau di Jakarta masih jauh dari target. Hingga 2016, hanya 5,4 persen dari 66.500 hektare lahan di Jakarta yang berfungsi sebagai ruang hijau untuk publik milik Dinas Pertamanan dan Pemakaman.
Kepala Seksi Perancangan Taman Heriyanto menyatakan lahan ruang terbuka hijau di Jakarta sebenarnya sudah mencapai 14,95 persen. Namun sebagian besar dimiliki swasta dan pemerintah pusat. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyebutkan 30 persen tanah perkotaan harus menjadi ruang terbuka hijau (RTH), yang terdiri atas 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat.
Untuk mencapai target 20 persen RTH publik, Dinas berencana membebaskan 50 hektare lahan setiap tahun hingga 2030. “Kami keteteran karena harga tanah sangat mahal,” ucapnya dalam diskusi “Mengupas Capaian Pembangunan Jakarta” pada Rabu, 23 November 2016.
Pada 2015, Dinas hanya membeli 50,45 hektare lahan seharga sekitar Rp 1 triliun untuk disulap menjadi taman dan makam. Jumlah ini naik pesat dibanding pembelian pada 2014 seluas 11,75 hektare dan 9,32 hektare pada 2013. “Untuk naik 1 persen saja, kami harus bebaskan lahan 320 hektare atau senilai Rp 7 triliun,” ujarnya.
Ekspansi ruang hijau, menurut Heriyanto, bergeser ke Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, yang masih banyak terdapat lahan kosong. Setidaknya 1.000 hektare lahan di Jakarta Timur berpotensi menjadi RTH dengan harga masuk akal.
Dinas, tutur Heriyanto, juga berharap pada sistem land banking, yang regulasinya sedang dibahas pemerintah pusat. Sistem ini memungkinkan negara membeli tanah sebanyak-banyaknya lalu memanfaatkannya atau menjualnya kembali kepada pemerintah daerah dengan harga murah untuk kepentingan publik.
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oscar Muadzin Mungkasa mengatakan banyak penyebab pemerintah kesulitan meluaskan ruang hijau. Salah satunya Jakarta belum memiliki peta dasar alias peta riil kondisi Jakarta. Selama ini, birokrat Ibu Kota mengandalkan Google Maps. “Itu peta Google Maps masih keliru karena bisa bergeser dengan kondisi lapangan. Makanya rumah orang bisa tiba-tiba jadi jalur hijau,” ucapnya.
Peta dasar itu sedang disusun dan diharapkan selesai pada 2018. Peta khusus RTH, yang terdiri atas tiga kategori, juga akan disiapkan. Peta pertama adalah peta RTH existing. Kedua, peta lahan yang sudah disetujui dijual pemiliknya. Terakhir adalah peta kategori sulit, yaitu ketika tanah atau rumah seseorang seharusnya menjadi jalur hijau tapi kekuatan hukum tanah masih menjadi sengketa.
AMRI MAHBUB | INDRI MAULIDAR