Kesimpulan, dia menambahkan, bisa diambil setelah melihat pula data dari penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan terapi plasma konvalesen kepada pasien SARS dan Ebola. Selain yang sekarang sedang dilakukan terhadap Covid-19.
Pengujian yang dilakukan pada 80 pasien SARS di Hong Kong pada 2003, Lugyanti menjelaskan, menunjukkan pasien dapat pulang pada hari ke-22 jika diberi plasma konvalesen sebelum hari ke-14 dari masa awal dia sakit. Tapi pasien yang menerima plasma konvalesen setelah hari ke-14 harus tinggal di rumah sakit lebih lama dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi.
Penelitian pada pasien Ebola di Guinea memperlihatkan pada umumnya pasien yang menerima plasma konvalesen menunjukkan durasi gejala yang lebih pendek. Tapi ada efek samping seperti sulit bernapas dan mata merah pada pasien yang mendapat terapi tersebut.
Menurut studi tersebut, transfusi 500 mililiter plasma konvalesen pada 84 pasien Ebola tidak berasosiasi dengan peningkatan tingkat kesembuhan yang signifikan.
Penelitian mengenai penggunaan terapi itu juga dilakukan terhadap lima pasien COVID-19 dengan kondisi berat di Shenzhen, Cina, dari 20 Januari sampai 25 Maret 2020. Hasilnya menunjukkan ada perbaikan signifikan pada pasien yang diberi plasma konvalesen. Sebanyak empat pasien bisa melepas ventilator mekanik sembilan hari setelah mendapat transfusi plasma.
Yang bisa disorot dari penelitian tersebut, kata Ligyanti, adalah kemungkinan antibodi dari plasma konvalesen berkontribusi pada pembersihan virus dan perbaikan gejala pasien. Namun skala penelitian itu masih tergolong kecil berdasarkan jumlah pasien terlibat dalam pengujian.
"Plasma darah konvalasen adalah suatu pasif antibodi menunjukkan hasil yang menjanjikan pada kasus SARS-CoV-2 yang berat tetapi masih dalam jumlah subjek atau pasien yang terbatas," kata Lugyanti.