TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta kembali menjadi tuan rumah Helicopter Emergency Medical Services (HEMS), pelatihan kedaruratan medis di udara. Program yang sebelumnya pernah diselenggarakan pada 2019 ini merupakan satu-satunya di Indonesia.
UPNVJ bekerja sama dengan Fondation de l'Académie de Médecine (FAM) dan Airbus Foundation Prancis untuk menyelenggarakannya.
Program pelatihan HEMS akan berlangsung selama tiga hari pada 5-7 September 2023, yang terdiri dari sesi teoretis dan praktik. Pada dua hari pertama, sesi teoretis akan digelar di Auditorium Merce di Kampus Limo UPNVJ.
Sementara, praktik di hari terakhir dijadwalkan berlangsung di Lapangan Terbang Polairud, Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Tiga helikopter akan disediakan pada sesi praktik, yaitu dua Airbus Bölkow 105 dan satu AS365 M3.
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta membangun kesadaran mengenai pentingnya pelatihan kedaruratan medis berbasis helikopter. Hal ini dinilai bermanfaat untuk mengurangi rasio kematian pasien di saat darurat, terutama dalam kondisi perjalanan menuju klinik atau rumah sakit.
Pelatihan HEMS kali ini lebih masif dari sebelumnya, melibatkan 168 peserta terpilih dari berbagai pemangku kepentingan di Indonesia. Peserta antara lain berasal dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Kepolisian dan rumah sakit. Sebelumnya pada 2019, sebanyak 100 peserta mengikuti pelatihan ini.
“Bagaimana dengan orang yang sudah dilatih? Di garda terdepan ada SAR, Basarnas, Kepolisian dan sebagainya. Mereka semuanya menggunakan helikopter untuk evakuasi. Dan selama ini terkoordinasi semua. Jadi, dimanfaatkan tenaga-tenaga yang sudah ada di berbagai lembaga,” kata Rektor UPNVJ Anter Venus pada konferensi pers di kampusnya, Senin, 4 September 2023.
Selang empat tahun, pelatihan HEMS kini dilengkapi peralatan dan teknologi kedaruratan medis di udara terbaru serta instruktur kelas dunia yang ditunjuk langsung oleh FAM dan Airbus Foundation Prancis. “Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk membekali dokter, warga sipil, dan personel militer dengan keterampilan untuk memberikan perawatan medis di helikopter penyelamat saat bencana alam, konflik, atau kecelakaan,” kata Anne Sophie, pembicara utama dari FAM.
Belum Ada di Indonesia
Saat ini, HEMS belum ada di Indonesia. “HEMS tidak ada saat ini di Indonesia, namun ada di mana-mana di Eropa,” kata salah satu ahli, Ralph Setz dari FAM pada kesempatan yang sama.
Sebagai gambaran, Ralph menyebut bahwa Eropa memiliki sekitar 2.800 helikopter di seluruh dunia dan 100 persen didedikasikan untuk melakukan misi HEMS. “Jadi, misi ini ada di banyak negara di Eropa dan juga Amerika, tetapi masih jarang di Asia,” kata dia.
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan kebutuhan Indonesia. Di Indonesia, misi pelatihan kedaruratan medis ini bukan hanya penting karena kedaruratan konvensial. Namun, pentingnya misi ini juga didasarkan pada fakta bahwa Indonesia merupakan negara rawan bencana.
Letak Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng besar Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik menjadikannya sangat rentan terkena bencana alam, khususnya gempa bumi tektonik, gelombang tsunami, hingga erupsi gunung berapi. Dengan kondisi ini, muncul kebutuhan penguasaan pengetahuan dan keterampilan kedaruratan medis berbasis helikopter.
Tantangan Penerapan HEMS di Indonesia
Penerapan sistem HEMS di suatu negara merupakan proses yang panjang. Menurut perwakilan Airbus Indonesia, Regis Antomarchi, negara-negara Eropa dan Amerika juga melewati perjalanan panjang sebelum mencapai tahap sekarang.
“Ini merupakan misi yang kompleks. Butuh beberapa dekade di negara-negara barat untuk mencapai level kedewasaan ini,” kata Regis.
Ketika ditanya kapan Indonesia akan siap untuk menerapkan HEMS, Regis mengatakan pelatihan hanyalah satu bagian dalam proses panjang ini. “Menurut saya, aspek paling penting adalah model bagaimana yang akan diterapkan untuk HEMS,” kata dia.
Sebagai contoh, Regis menyebut bahwa di Prancis, negaralah yang mengorganisir dan menyediakan biaya untuk HEMS. Sedangkan di Jerman, negara mengorganisir namun tidak menyediakan biaya. Di Britania Raya, pendanaan berasal dari amal. Sementara di Amerika Serikat, rumah sakit yang berperan membeli helikopter.
“Setiap negara telah mendefinisikan model masing-masing berdasarkan realitas mereka. Dan menurut saya langkah pertama di Indonesia adalah menentukan siapa yang akan mengoperasikan, siapa yang akan membayar, dan bagaimana kita bisa mengorganisir semua ini dengan seluruh pemangku kepentingan,” kata Regis.
Pilihan Editor: Prabowo hingga Deddy Corbuzier Hadir di UPNVJ, Ini Pesan Menhan ke Mahasiswa Baru