TEMPO.CO, Jakarta - Kondisi kualitas udara bisa diukur oleh perangkat di stasiun pemantau maupun alat yang dinamakan Low-Cost Sensors atau LCS. Teknologi LCS marak digunakan secara global namun masih punya kekurangan.
“Fakta di lapangan bahwa data LCS belum seakurat seperti instrumen yang digunakan di stasiun pemantauan kualitas udara,” kata Kemal Maulana Alhasa, peneliti Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Rabu, 1 November 2023.
LCS menjadi topik risetnya untuk disertasi saat studi di Malaysia pada 2015-2020. Menurut Kemal, sistem di stasiun pemantau kualitas udara pada umumnya menggunakan perangkat yang dikenal dengan istilah Reference Method atau Reference Instrument. Perangkatnya disertifikasi oleh instansi standar yaitu Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau US EPA.
Klasifikasinya terbagi dua yaitu Federal Reference Method (FRM) dan Federal Equivalent Method (FEM). FEM merupakan pengembangan teknologi baru yang akurasinya mendekati FRM. Setiap tahun US EPA memutakhirkan daftar instrumen untuk sertifikasi kedua metode tersebut. Standar itu, menurut Kemal, menjadi acuan negara lain di dunia termasuk para pembuat alat pemantau kualitas udara.
Secara umum, perangkat sistemnya ditempatkan di dalam sebuah ruang atau kabin dengan kondisi terkontrol misalnya terkait suhu dan kelembapan. Alat pengambilan sampel gas atau partikel udara yang akan diukur ditempatkan di luar ruangan atau di atap. Sampel udara yang terkumpul lalu disaring untuk menghilangkan uap air kemudian di pompa ke dalam guna dianalisis oleh instrumen. “Untuk membaca konsentrasi polutan yang ada di kawasan tersebut,” ujar Kemal.
Meskipun tingkat akurasinya teruji, harga alat itu terhitung mahal. Untuk satu paramater pengukuran misalnya materi partikulat atau particulate matter berkisar US$ 1.000-50.000. Karena itu, kata Kemal, dikembangkan alat yang lebih murah yaitu LCS. Harga sensornya saja kini yang paling murah berkisar Rp 100-200 ribu juga ada sekitar Rp 1-2 juta dengan perbedaan kualitas
Selain itu ada LCS hingga seharga puluhan juta rupiah untuk mengkur materi partikulat. Produsen alatnya berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Muncul pada awal 1980, sejak 2006 semakin banyak akademisi dan peneliti yang mengembangkan LCS. “Sebagai alternatif pemantauan kualitas udara di kawasan perkotaan,” kata dia.
Sejauh ini, menurutnya, US EPA maupun World Meteorological Organization atau WMO belum memasukkan LCS sebagai alat pemantau kualitas udara. Protokol LCS juga belum ada yang pasti untuk dijadikan rujukan. Saat ini para peneliti atau akademisi masih mengembangkan metode kalibrasi yang tepat dan dapat digunakan secara global.
Walau begitu, Amerika Serikat dan negara Eropa, seperti Norwegia, Swiss, Italia, Spanyol, dan Inggris, telah memasang LCS sebagai pendukung jaringan stasiun pemantauan kualitas udara. “Kalau punya banyak jaringan sistem LCS akan sangat membantu dalam menentukan sumber-sumber polusi lokal,” ujar Kemal. LCS difungsikan sebagai penanda awal atau peringatan dini kualitas udara di suatu tempat. Hasil pengukurannya kemudian diverifikasi oleh stasiun pemantau yang bisa bergerak atau mobile.
Di negara luar, pemerintah bekerja sama dengan kalangan akademisi lewat institusi perguruan tinggi, dan warga atau komunitas masyarakat untuk membangun jaringan sistem pemantauan kualitas udara dari stasiun pengamatan hingga pemasangan LCS di berbagai lokasi. Menurut Kemal, Indonesia belum memiliki aturan seperti itu. “Sebaiknya pemerintah yang harus mengatur regulasi dan bagaimana pengolahan datanya sebelum dipublikasikan ke masyarakat,” ujarnya.
Radius Stasiun Pemantauan Kualitas Udara, menurut Kemal, terbatas sejauh 10 kilometer atau kurang. Di kota seperti Jakarta dibutuhkan banyak stasiun pemantauan. Penempatannya bisa untuk memantau sumber polusi maupun wilayah yang terdampak pencemaran. Keterbatasan jumlah dan anggaran untuk stasiun pemantauan bisa dibantu oleh LCS, namun alatnya harus dikalibrasi ulang sebelum dipakai.
Kemal mengatakan ada dua metode, yaitu dengan laboratorium kalibrasi di ruangan yang terkontrol dan kolokasi. Kalibrasi itu mendapatkan formula untuk memperbaiki akurasi data dari LCS. Idealnya kalibrasi ulang dilakukan secara berkala per tiga bulan, kecuali hasil datanya masih bagus dan tidak ada penyimpangan.
LCS bisa mengukur polutan dalam bentuk gas. Jenisnya secara umum ada metal oxide sensors, kemudian electrochemical sensors yang paling banyak digunakan oleh vendor penyedia sistem LCS. Teknologinya mempunyai ketahanan yang lebih dari ganguan faktor meteorologi seperti suhu dan kelembapan.
Jenis berikutnya LCS berbasis infrared yang lebih tahan dari ganguan faktor meteorologi namun resolusi pengukurannya masih pada level konsentrasi tinggi di rentang parts per million (ppm). Alat itu lebih cocok untuk mengukur gas seperti karbon monoksida atau karbon dioksida. Kemudian LCS yang menggunakan optik dengan memanfaatkan ionisasi sinar ultraviolet atau disebut photoionization detector. Sedangkan untuk mengukur materi partikulat, ada nephelometer dan optical particle counter yang teknologinya berbasis optik.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.