TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 2.653 anak pekerja migran asal Indonesia mengikuti pendidikan di Community Learning Centre atau CLC di Sarawak, Malaysia. Orang tua dari anak-anak tersebut adalah pekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
CLC merupakan pusat pembelajaran komuniti atau institusi pendidikan yang menyediakan pendidikan alternatif kepada anak-anak Tenaga Kerja Indonesia yang berada di perkebunan di Malaysia.
"Ribuan anak tersebut tercatat bersekolah di 63 CLC aktif yang tersebar di sejumlah perusahaan sawit di wilayah Sarawak. Sebenarnya, jumlah CLC yang tercatat lebih dari 70 CLC," kata Konsulat Jenderal RI Kuching Raden Sigit Witjaksono di Sarawak pada Senin, 27 November 2023.
Sigit mengatakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menyediakan guru bina untuk memenuhi tenaga pengajar di CLC. Selain itu, ada guru pamong sebagai guru bantu yang direkrut oleh perusahaan perkebunan sawit.
Saat ini, jumlah guru bina mencapai 20 orang dan guru pamong sebanyak 121 orang. "Jika dilihat dari jumlah murid dan guru yang mengajar di CLC, tidak seimbang. Karena harus menangani seluruh CLC yang areanya berjauhan dan mengajar 2.653 murid TK (Taman Kanak-kanak) dan SD (Sekolah Dasar). Dari kelas 1 hingga kelas 6 SD," kata Sigit.
Sigit berpendapat, kondisi ini adalah tantangan dalam memastikan agar anak-anak Indonesia usia sekolah di Sarawak tetap dapat mengenyam pendidikan. Sama halnya seperti anak-anak lain yang menetap di Indonesia.
Di samping itu, kata Sigit, ada tantangan lain yang harus segera diatasi agar anak-anak tersebut tetap dapat belajar. Tantangan tersebut perihal status guru CLC.
Menurut Sigit, saat ini lebih dari separuh guru bina yang didatangkan dari Jakarta itu telah habis masa kerjanya. "Guru-guru yang habis masanya ini, harus ada pergantian. Ini memerlukan upaya tersendiri, karena berkaitan dengan izin tinggal dan akses untuk masuk kembali mengajar ke sini. Kami telah koordinasi dengan otoritas setempat, seperti Kementerian Pembangunan Kanak-kanak, termasuk kepada State Secretary Sarawak," ujarnya.
Koordinasi dan kerja sama dengan otoritas setempat, kata Sigit, sangat penting. Dengan begitu, para guru bina dapat mendapatkan status yang valid, sah dan legal. Pada akhirnya, para guru tersebut bisa bekerja dengan tenang dan baik dalam jangka yang ditentukan.
Sigit mengatakan KJRI mengupayakan pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak pekerja migran asal Indonesia. Mereka mendatangi mereka ke lokasi perusahaan-perusahaan sawit dan memberikan dokumen yang diperlukan anak-anak tersebut.
"Kami juga selalu memberi perhatian terhadap anak-anak tersebut dengan berbagai upaya untuk kelancaran belajar-mengajar mereka," kata Sigit.
Dukungan fasilitas belajar
Nurul Azizah, salah satu guru pamong di CLC Jelalong West mengatakan, KJRI Kuching aktif mendukung kegiatan belajar dan mengajar di sekolah-sekolah CLC. Salah satunya dengan penyediaan fasilitas dan sarana pendukung belajar-mengajar, meskipun belum sepenuhnya lengkap.
Perusahaan sawit juga kerap memberikan bantuan serupa. Pengadaan tersebut, kata Nurul membantu para guru di CLC untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak di sana.
Dengan adanya bantuan pendukung pembelajaran, seperti buku-buku, kata Nurul, anak-anak yang tadinya tak bisa membaca, sedikit demi sedikit sudah bisa membaca. Ia berharap, penyediaan kebutuhan pendukung pembelajaran dapat lebih ditingkatkan.
"Kami berharap, ke depannya tempat belajar CLC Jelalong West ini dapat lebih luas lagi dan peralatan belajar seperti buku-buku, dapat lebih lengkap lagi," kata Nurul.
Tantangan pemenuhan hak pendidikan
Di tengah upaya memenuhi hak pendidikan anak, Nurul menyatakan adanya kesulitan dalam prosesnya. Mulai dari kurangnya dokumen pribadi anak-anak hingga minimnya kesadaran orang tua akan pentingnya menyekolahkan anak.
"Namun, upaya untuk menyekolahkan anak-anak di CLC ini biasanya kesulitan. Anak-anak ini ada yang tidak memiliki akta lahir dan KK (Kartu Keluarga), serta kurangnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya," kata Nurul.
ANTARA
Pilihan Editor: Galih Sulistyaningra, Guru SD Lulusan UCL Inggris dengan Beasiswa LPDP