TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dan Pegiat Agraria dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Siti Rakhma Mary mengatakan kedudukan negara dalam konteks hak menguasai negara atau HMN adalah melakukan pengawasan, bukan sebagai pemilik. Pemenuhan hak menguasai negara ini bukan malah menjadikan negara sebagai pemilik tunggal. Hal tersebut juga didukung oleh Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
"Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 ini menyebutkan bahwa yang menentukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ucap Siti dalam diskusi di Angkringan Hutan Jawa yang digelar oleh Yayasan Lembaga Alam Tropika Indonesia, Kamis, 21 Desember 2023.
Siti mempertegas, penggunaan kata sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ini adalah penguasaan negara akan suatu tanah atau lahan yang ada di Indonesia, harus memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat, misalnya masyarakat hukum adat.
Makna dari hak menguasai negara atau HMN ini, menurut Siti, jangan diinterpretasikan bahwa negara berhak punya semua lahan dan boleh menggusur sembarangan. Namun, perlu diingat juga bahwa negara berkewajiban untuk merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan dan pengurusan serta pengawasan.
Siti mengutip pernyataan Mohammad Hatta selaku tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia menyampaikan bahwa Hatta dalam sidang BPKNP 1948 pernah berkata, "Milik tanah besar harus dihapuskan, harus dipelajari dengan teliti berapa besarnya maksimum milik tanah yang dibolehkan (untuk dimiliki). Sebaliknya pula diusahakan supaya tanah yang dimiliki cukup hasilnya untuk menjamin hidup yang bercahaya bagi petani".
"Perkataan Hatta ini sederhana, tapi maknanya dalam sekali. Secara ringkas mengatur tentang kepemilikan tanah seluas-luasnya itu tidak diperbolehkan. Jadi hanya diatur supaya cukup untuk kebutuhan saja," ucap Siti.
Merujuk pada pernyataan Hatta tersebut, Siti meyakini seharusnya ada peran pemerintah untuk mengatasi kepemilikan tanah yang dimiliki oleh satu individu yang luasnya sangat banyak. "Seharusnya fokus membahas hal ini tanpa terus menggusur kepemilikan tanah rakyat kecil atau miskin," kata Siti.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Madya Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono mengatakan hal yang serupa dengan Siti. Ia menilai bahwa negara harus melindungi hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari kekerasan, terutama dalam skema kebijakan transisi energi.
Mimin mengatakan, jangan sampai kebijakan untuk berubah ke arah yang lebih baik bagi lingkungan, tapi berdampak pada perampasan lahan terhadap masyarakat. "Jangan sampai kebijakan yang memanfaatkan hutan untuk pemasok kemajuan energi, tapi menyebabkan kebutuhan dasar untuk hidup masyarakat jadi terabaikan," kata Mimin saat menjadi pembicara.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.