TEMPO.CO, Jakarta - Debat cawapres yang berlangsung pada Ahad malam, 21 Januari 2024 di JCC, Gibran Rakabuming Raka menyinggung perihal energi hijau sebagai transisi perusahaan industri di Indonesia.
Mengutip laman Antara News, Gibran menyebut jika penggunaan energi hijau tidaklah terjangkau karena perusahaan industri di Indonesia masih banyak yang kurang memenuhi secara soft skills.
Diacu atas twi-global.com, suatu sumber daya dikatakan sebagai energi hijau bila selama penggunaannya tidak menghasilkan polusi, berasal dari sumber yang dapat diperbarui sewaktu-waktu, dan paling penting tidak merusak lingkungan.
Adapun sumber energi yang digunakan dalam konsep energi hijau umumnya berasal dari angin, matahari, dan air dihimpun melalui alat khusus yang disebut Pembangkit Listrik Bertenaga.
Di Indonesia pengembangan energi hijau telah dipatenkan dalam Peraturan Presiden Nomor 112 pada tahun 2022 lalu guna penyediaan tenaga listrik menjadi Net Zero Emission (NZE). Sumber ebtke.esdm.go.id menyebut pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam waktu 10 tahun harus dapat menurunkan Gas Rumah Kaca minimal 35 persen.
Sementara itu Institute for Essential Services Reform menambahkan PLTU mulai melakukan perdagangan karbon batubara setelah pemerintah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE). Untuk PLTU non mulut tambang kapasitasnya 25MW hingga 100MW memiliki PTBAE sebesar 1.297 ton CO2e/MWh. Sedangkan PLTU non MT kapasitasnya 400MW memiliki PTBAE sebesar 0.911 ton CO2e/MWh.
Apabila pedagangan karbon tersebut melebihi dari kapasitas yang sudah ditetapkan, maka dari sumber yang sama menyatakan sistem pembangkit harus membeli emisi dari unit PLTU ataupun membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK). Peringatan tertulis juga akan diberikan oleh Menteri ESDM bagi pelaku usaha yang lalai akan rencana monitoring emisi GRK.
Pilihan Editor: Profil PLTS Cirata yang Disebut Gibran Layak Menjadi Contoh Energi Hijau di Masa Depan