TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), gabungan dari sejumlah organisasi yang peduli pada isu lingkungan, menilai visi misi pasangan calon presiden dan wakil presiden belum merujuk kepada akar masalah soal tata kelola persampahan di Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi yang disampaikan calon, tata kelola sampah selama ini belum jadi isu arus utama dalam membangun kebijakan pemerintah, dibandingkan isu lingkungan hidup lainnya seperti energi, tata kelola sumber daya alam dan perubahan iklim.
Meskipun sudah ada kemajuan tata kelola sampah di Indonesia melalui penerbitan dan implementasi beberapa peraturan, namun hal ini masih belum mampu mengatasi akar permasalahan dalam tata kelola sampah.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023 menunjukkan, jumlah sampah terkelola saat ini hanya 66,74 persen. Sisanya yang tidak terkelola 33,26 persen.
Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), salah satu anggota AZWI, mengatakan, sejak ditetapkannya UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, soal penanganan sampah perlu dilihat sebagai isu lingkungan di mana pengelolaan sampah harus mendorong penghematan sumber daya alam, pengurangan emisi karbon dan polusi bahan beracun.
"Karena itu, perbaikan sistem pengelolaan sampah nasional harus dimulai dengan menetapkannya sebagai prioritas utama pembangunan," kata Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan David Sutasurya, Jumat, 9 Februari 2024.
Menurut David, pengurangan emisi karbon juga berkaitan pada upaya pengurangan timbulan sampah pangan. Namun saat ini sampah pangan belum menjadi prioritas pemerintah.
Padahal, kata David, sampah pangan adalah salah satu jenis sampah organik yang menyumbang angka terbesar. Berdasarkan data SIPSN, sampah makanan yang masuk dalam rantai pangan menempati urutan pertama dengan total 43,3 persen pada tahun 2023.
Direktur Yayasan Gita Pertiwi Surakarta, Titik Eka Sasanti mengatakan, perlu adanya mitigasi dalam bentuk kebijakan dan program pengurangan food loss dan food waste pada rantai produksi, distribusi dan konsumsi.
"Penyebab kebakaran TPA adalah ledakan timbulan gas metana yang dipicu kemarau panjang dan sistem open dumping. Sumber gas metana di TPA, sebagian besar berasal dari timbulan sampah organik, salah satunya sampah pangan," ucap Titik.
Titik menambahkan, data Bappenas (2021) menunjukkan bahwa timbulan sampah pangan di Indonesia rata-rata 115 -184 kg/kapita/tahun yang berkontribusi 7,29 persen emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia.
Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengatakan, Indonesia seharusnya juga menghentikan kebijakan pembangunan Waste to Energy (WtE). Ia menyebut, kebijakan itu merupakan bentuk solusi semu.
WtE, kata Leonard, hanya mengalihkan masalah sampah menjadi polusi beracun dan meningkatkan emisi karbon. WtE juga menjadi disinsentif
transformasi menuju sistem yang sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu pemilahan dan pengurangan sampah.
"Pengelolaan sampah menjadi energi listrik melalui pembangunan PLTSa dan juga penggunaan RDF untuk cofiring di PLTU yang semakin gencar di tahun-tahun terakhir ini adalah pendekatan yang menyesatkan. Dari sisi transisi energi, opsi ini tidak signifikan dalam mengakhiri dominasi batubara," kata Leonard.
Sedangkan dari sisi pengelolaan kualitas udara, kata Leonard, itu juga berpotensi meningkatkan dampak buruk terhadap kesehatan lingkungan.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup the Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan, penyebab mandeknya peningkatan kinerja pengelolaan sampah adalah buruknya tata kelola pengelolaan sampah pada semua tingkatan pemerintahan.
Fajri mengatakan, pengelolaan sampah membutuhkan koordinasi lintas lembaga dan kementerian, serta sinergi kebijakan dan peraturan, termasuk kebijakan terkait pemantauan kesehatan dan lingkungan.
"Perbaikan tata kelola sampah yang signifikan, khususnya pada kelembagaan dan anggaran yang berfokus pada upaya pengurangan sampah sejak dari hulu atau produksi, serta kebijakan terkait tanggung jawab produsen dalam pengurangan produksi dan penggunaan kemasan plastik, harus menjadi prioritas dari para calon presiden dan wakil Presiden," ucap Fajri.
IRSYAN HASYIM