TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menegaskan kembali pentingnya peringatan dini di tengah peningkatan frekuensi kejadian cuaca ekstrem. Sistem deteksi dianggap penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana alam. Namun, belum semua negara memiliki kemampuan deteksi bencana.
“Masih banyak ketimpangan, bahkan injustice atau ketidakadilan di mana tidak semua mendapatkan akses yang equal terhadap early warning for all tersebut,” katanya di Bali pada Rabu, 6 Maret 2024.
Hal itu disampaikan Dwikorita di hadapan 139 delegasi dari 94 negara dalam acara Third Session of the Commission for Weather, Climate, Hydrological, Marine, and Related Enviromental Service and Applications ke-3 (SERCOM 3) di kawasan Nusa Nua, Bali. Indonesia sedang menjadi tuan rumah untuk forum tentang cuaca, iklim, air, dan berbagai aspek lingkungan yang berlangsung pada 4-9 Maret 2024. Dwikorita sendiri merupakan perwakilan tetap Indonesia untuk Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) serta Anggota Badan Eksekutif Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Menurut Dwikorita, sistem peringatan dan tindakan dini merupakan alat penting untuk mengurangi risiko bencana, juga untuk mendukung adaptasi iklim. Sistem peringatan dini berisi data dan informasi seputar iklim dan kondisi atmosfer. Biasanya ada juga rencana tanggapan untuk meminimalkan dampak bencana iklim.
Sayangnya, kata dia, banyak penduduk dunia yang belum memiliki sistem tersebut, sehingga sangat rentan menjadi korban. Padahal, intensitas kejadian cuaca ekstrem terus meningkat di seluruh penjuru Bumi, sehingga keberadaan sistem peringatan dini kian urgen.
“Bumi dan seluruh penduduknya menghadapi bahaya dari dampak besar perubahan iklim,” tutur dia.
Dia menyebut sebuah sistem peringatan dini bisa dinyatakan berhasil bila dapat diakses banyak populasi. Kesenjangan antara pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam merespon peringatan dini pun seharusnya semakin kecil.
Selain soal peringatan dini, SERCOM 3 di Bali juga mengangkat isu ketidakadilan iklim, terutama dalam konteks gender. Dwikorita menuturkan, perempuan dan komunitas yang terpinggirkan sering kali menanggung beban terbesar akibat perubahan iklim.
“Seluruh negara harus berupaya mencapai solusi inklusif yang menjamin kesetaraan dan keadilan dalam aksi iklim bersama,” katanya.
Dwikorita berharap SERCOM 3, termasuk Gender Conference di dalamnya, dapat menjadi forum yang produktif untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan solusi terkait perubahan iklim dan kesetaraan gender. Tak semata menginspirasi solusi inovatif dan mendorong kolaborasi, agenda itu ditargetkan bisa mengikat komitmen global terhadap pembangunan berkelanjutan.
Pilihan Editor: Guru Besar FKUI Rekomendasikan Strategi Memberantas Skabies