TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto, mengatakan teknologi yang akan digunakan pada proyek ekstentifikasi lahan produksi garam tidak rentan terhadap cuaca. Selama ini produksi garam nasional rentan terhadap cuaca hujan yang mengakibatkan petani garam gagal panen.
“Kelemahannya (produksi garam nasional) waktu penguapannya lama, yaitu 10-14 hari dan rentan terhadap hujan,” kata Unggul kepada Tempo saat ditemui di Jakarta, Rabu, 9 Agustus 2017.
Baca: Pemerintah Berencana Perluas Lahan Pertanian Garam
Unggul menuturkan dengan teknologi dari BPPT faktor kerentanan akan hujan tidak ada lagi. Dia menjelaskan nantinya akan dibangun tanggul dan reservoir, di mana saat laut pasang airnya akan melewati tanggul dan masuk ke dalam reservoir.
Setelah dari reservoir, air laut itu menuju ke saluran-saluran agar berevaporasi. Kemudian dari saluran-saluran itu, air laut itu sudah memiliki kekentalan garam yang tinggi, dan akan masuk ke reservoir air laut tua. Lalu dari reservoir air laut tua, barulah masuk ke lahan-lahan untuk dilakukan kristalisasi, baru setelah itu masuk ke pabrik untuk dipanaskan lagi dan dibersihkan dari kotoran. “Ketika masuk kristalisasi, butuh empat hari untuk dipanen,” ujar Unggul.
Baca: Petani Usulkan Harga Pokok Pembelian Garam Rp 1000 per Kilo
Menurut Unggul,untuk mengurangi pengaruh air hujan di reservoir, maka akan dibangun pula saluran-saluran untuk menampung hujan agar tidak bercampur dengan reservoir.
Unggul mengungkapkan di dalam teknologi BPPT tersebut, air laut yang tidak terpakai di proses kristalisasi bisa dibuat produk turunan seperti minuman isotonik. Sedangkan yang masuk ke tahapan kristalisasi sampai ke pabrik akan diproduksi menjadi garam konsumsi, industri, dan farmasi.
Ketika di pabrik, kata Unggul, garam kristal itu akan dibersihkan dan dikeringkan lagi sampai kadar airnya di bawah 1 persen. Lalu kemudian ditambahkan bahan lain selain peruntukkannya, misalnya diberikan yodium jika peruntukkannya untuk garam konsumsi.
Pemerintah berencana melakukan ekstentifikasi lahan agar produksi garam nasional bisa meningkat dan mengurangi impor. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan lahan terlantar, dan paling dekat akan dibangun di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Proyek di NTT akan membutuhkan lahan sebesar 5 ribu hektar dan diperkirakan pembangunan sampai bisa produksi memakan waktu 1 tahun. Pembangunan 5 ribu hektar lahan itu membutuhkan biaya sebesar Rp 1,8 triliun, dan diperkirakan lahan ini bisa memproduksi 500 ribu ton garam per tahun.
Selain di NTT sebagai pilot project, ekstentifikasi lahan produksi garam ini juga akan dilakukan di NTB dan Sulawesi Selatan. Alasannya di daerah itu curah hujannya rendah dan lahan untuk mengembangkan lahan garam terintegrasi ini tersedia cukup besar. Lahan ini nantinya tidak hanya mengurus produksi garam melainkan juga produk turunan dari garam itu.
DIKO OKTARA