Kenapa Gempa Banten Tidak Hasilkan Tsunami?
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Erwin Prima
Sabtu, 3 Agustus 2019 18:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gempa Banten magnitudo 6,9 hasil pemutakhiran BMKG yang terjadi pada Jumat malam, 2 Agustus 2019, sempat menggegerkan publik karena diiringi peringatan dini tsunami.
Berdasarkan pantauan di berbagai tempat yang disebutkan berpotensi ternyata tsunami tidak terjadi. “Gempa Banten di kedalaman 48 kilometer tidak cukup bisa mengganggu kolom air laut permukaan,” kata Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Sabtu, 3 Agustus 2019.
Peringatan dini tsunami dari BMKG keluar sesuai data cepat yang masuk dari sedikit sensor gempa. Sesuai standar kerja informasi gempa dan tsunami harus terpublikasi dalam kurun waktu lima menit. Setelah pemutakhiran data skala gempa bermagnitudo 6,9 dari kedalaman 48 dari sebelumnya 10 kilometer. Beda data, lain pula hasilnya.
Hasil pemutakhiran data menyebutkan episenter atau titik sumber gempa terletak pada koordinat 7,32 LS dan 104,75 BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 164 km arah barat daya Kota Pandeglang, Kabupaten Pandeglang. Kedalaman sumber gempa itu 48 km.
“Gempa yang terjadi merupakan jenis gempa dangkal akibat adanya deformasi batuan dalam Lempeng Indo-Australia,” kata Daryono. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa ini dipicu penyesaran oblique yaitu kombinasi gerakan mendatar dan naik.
Guncangan gempa ini dirasakan di Lebak dan Pandeglang dengan skala intensitas IV-V MMI, Jakarta III-IV MMI, Bandung, Serang, Bekasi, Tangerang, Bandar Lampung, Purwakarta, Bantul, Kebumen berskala II-III MMI sementara di Nganjuk, Malang, Kuta, Denpasar berskala II MMI.
Daryono mengatakan, sumber gempa berada di dalam lempeng Australia. Isitilahnya disebut gempa intraslab. “Bukan di lempeng (Eurasia) di bawah badan pulau Jawa,” katanya Sabtu, 3 Agustus 2019. Karena sifat batuan samudera itu homogen, maka sekali pecah karena tekanan tidak berlanjut hingga mencetuskan gempa susulan. Berbeda dengan batuan di jalur sesar atau patahan yang pecahannya bisa berkelanjutan.
Gempa dari kedalaman 48 kilometer itu menurutnya tidak cukup untuk menghasilkan tsunami. “Berbeda kalau kedalaman 10-15 kilometer itu bisa tsunami,” kata dia. Semakin dalam sumber gempa, potensi tsunami tidal terjadi karena syaratnya harus ada deformasi batuan di lapisan yang dekat permukaan. Deformasi batuan merupakan perubahan bentuk batuan akibat gerakan tektonik.
Lokasi sumber gempa juga, menurutnya, bukan di bidang kontak subduksi atau penunjaman lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. “Gempanya juga bukan produk dari megathrust (gempa besar),” kata dia. Arah sobekan batuannya tegak lurus utara-selatan, bukan sejajar dengan palung zona megathrust yang mengarah barat-timur.
ANWAR SISWADI