TEMPO Interaktif, Palisades - Ternyata tidak semua air laut memiliki tingkat keasinan yang sama. Perairan di Atlantik, misalnya, mengandung kadar garam yang jauh lebih tinggi ketimbang perairan yang mengelilingi Indonesia.
Perbedaan itu bisa dilihat dalam peta tingkat salinitas buatan badan antariksa Amerika (NASA). Inilah peta pertama tentang salinitas laut. Fungsinya untuk membantu manusia memahami berbagai hal, mulai curah hujan global sampai arus laut.
Peta tersebut dihasilkan oleh Aquarius/SAC-D, sebuah satelit pengorbit bumi yang dilengkapi dengan pengukuran radio khusus. Seluruh foto yang dikirim Aquarius selama dua pekan pertama bekerja itu lantas disusun menjadi peta bola dunia yang mudah dipahami.
Peta NASA ini memperlihatkan kadar garam di seluruh samudra yang dibedakan dengan intensitas warna. Daerah yang berwarna merah dan kuning memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi, sedangkan yang berwarna biru dan ungu mempunyai kadar garam lebih rendah. Wilayah gelap menandai kekosongan data.
Dengan data tersebut, peneliti memperoleh gambaran yang lebih terperinci tentang pola iklim seperti bagaimana pergerakan air tawar mengelilingi dunia. Gerakan air tawar itu ternyata juga mempengaruhi sirkulasi laut.
Peta ini hanya sebagian kecil dari hasil pengukuran satelit yang diluncurkan pada Juni lalu, dan mulai beroperasi pada 25 Agustus. Pada masa mendatang, satelit itu diharapkan akan mengungkap lebih banyak rahasia samudra.
Adanya perbedaan kadar garam di samudra besar, seperti Pasifik dan Hindia, memang sudah terlihat jelas. Namun, ada berbagai fitur, seperti air sungai yang keluar dari Sungai Amazon.
Perbedaan yang amat kontras terlihat di Laut Arab yang kering dan memiliki salinitas tinggi di sebelah barat subkontinen India dengan Teluk Bengal bersalinitas rendah di sebelah timurnya yang didominasi oleh Sungai Gangga dan hujan monsoon Asia Selatan.
Untuk mengukur perbedaan salinitas laut dari orbit bumi, satelit itu dilengkapi dengan tiga penerima radio yang merekam emisi gelombang mikro dari permukaan air. Perubahan emisi ini amat ditentukan oleh konduktivitas air yang sangat erat hubungannya dengan seberapa banyak garam yang larut di dalamnya.
Sebelum ada Aquarius, para ilmuwan harus menggunakan berbagai instrumen yang harus dicemplungkan dari kapal ke dalam air. Selain makan waktu lama, data yang bisa dikumpulkan menggunakan metode ini juga amat terbatas. “Dengan Aquarius, NASA kini dapat membuat peta yang biasanya membutuhkan waktu hingga beberapa bulan itu dengan jauh lebih akurat.
Aquarius dapat mengukur salinitas laut hingga hitungan gram per kilogram air laut. Kisaran kadar salinitas laut yang diukur antara 32 dan 37 ppt, tapi NASA berharap dapat memperkecil hingga 0,2 ppt, atau hingga 1 mililiter garam dalam 6 liter air.
“Aquarius mengungkap sebuah pola salinitas permukaan laut yang kaya dengan variabilitas dengan kisaran skala yang luas,” kata anggota tim Aquarius Arnold Gordon, dosen oseanografi di Columbia University di Palisades, New York. “Ini peristiwa besar dalam sejarah oseanografi.”
Peneliti utama Aquarius, Gary Lagerloef, menyatakan data salinitas Aquarius menunjukkan kualitas yang jauh lebih tinggi dibanding apa yang diperkirakan semula pada awal misi. “Dengan Aquarius, para ilmuwan kelak dapat mengeksplorasi hubungan antara curah hujan global, curah hujan, dan variasi iklim,” ujarnya.
TJANDRA DEWI | NASA
Berita terkait
BRIN Berikan Nurtanio Award ke Ahli Penerbangan & Antariksa Profesor Harijono Djojodihardjo
26 November 2023
BRIN memberikan penghargaan tertinggi kepada periset Indonesia yang berprestasi, dan kepada tokoh yang telah memberikan andil kemajuan iptek.
Baca SelengkapnyaJokowi Dorong Generasi Muda Kuasai Iptek Dibarengi Budi Pekerti
19 Agustus 2023
Jokowi mendorong pelajar Muhammadiyah untuk memiliki kemampuan iptek dan juga budi pekerti yang baik
Baca SelengkapnyaJokowi Ungkap 3 Acuan Penting Menuju Visi Indonesia Emas 2045
15 Juni 2023
Presiden Joko Widodo alias Jokowi membeberkan tiga hal penting yang menjadi acuan menuju visi Indonesia Emas 2045. Simak detailnya.
Baca SelengkapnyaMemahami Globalisasi serta Dampak Negatif dan Positifnya
10 Desember 2022
Dengan adanya globalisasi, segala aktivitas manusia semakin mudah. Namun lihat juga dampak negatif dan positifnya.
Baca SelengkapnyaDi Acara HUT PGRI, Jokowi Minta Guru Pastikan Anak Didik Kuasai Iptek dan Keterampilan Teknis
3 Desember 2022
Jokowi meminta para guru memastikan anak didiknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
Baca SelengkapnyaSiti Fauziah Dorong Mahasiswa Kuasai Iptek dan Lestarikan Budaya
25 November 2022
MPR membuka pintu lebar-lebar kepada seluruh elemen bangsa termasuk para mahasiswa untuk berkunjung dan mendapatkan semua informasi.
Baca SelengkapnyaBRIN Anugerahkan Habibie Prize 2022 kepada Empat Ilmuwan
10 November 2022
Penghargaan Habibie Prize 2022 diberikan pada empat ilmuwan yang memberikan kontribusi di bidang iptek dan inovasi.
Baca SelengkapnyaPresiden Tegaskan Kedudukan Pancasila sebagai Paradigma Iptek
4 November 2022
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyelenggarakan Symposium on State Ideology and International Conference on Digital Humanities 2022 di Institut Teknologi Bandung.
Baca SelengkapnyaPemanfaatan Iptekin sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional
20 April 2022
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) telah menjadi salah satu faktor utama bagi negara-negara maju dalam mempercepat program pembangunan nasional di berbagai sektor, terlebih pada sektor pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan.
Baca SelengkapnyaPraktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia
20 April 2022
Praktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia
Baca Selengkapnya