Ketika Orang Utan pun Harus Sekolah

Reporter

Editor

Selasa, 24 Juli 2012 05:52 WIB

Anak orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) berusia 1,5 tahun di Kawasan Konservasi Orangutan Samboja, Kalimantan Timur. Terdapat lebih dari 200 orangutan di kawasan konservasi yang dikelola 'Borneo Orangutan Survival Foundation' tersebut. Pada 2015 Departemen Kehutanan menargetkan seluruh orangutan sehat yang dirawat di tempat penampungan dapat dilepas kembali ke habitat aslinya. TEMPO/Praga Utama

TEMPO.CO , Balikpapan: Di sekolah Boy, tak ada barisan meja dan kursi sekolah seperti yang biasa dijumpai di sekolah. Sebagai gantinya, ada tali dan ban bekas yang digantung di langit-langit.

Sekolah tempat Boy dan ketujuh temannya memang bukan sekolah biasa. Playground yang berada di kawasan Konservasi Orang Utan Samboja, yang berjarak 35 kilometer dari Balikpapan, Kalimantan Tengah, itu adalah sekolah khusus bagi anak orang utan. Di sinilah letak keunikan konservasi orang utan Samboja. Sebab, selain merawat pengelola konservasi, sekolah ini "mendidik" orang utan agar siap dikembalikan ke habitat asal.

Boy dan anak orang utan lain yang berada di sekolah itu umumnya tak lagi memiliki orang tua, sehingga tak ada yang mengajarinya secara alami. Boy, anak orang utan berusia 11 bulan yang lincah namun pemalu itu, misalnya, kehilangan induknya, yang mati ketika melahirkan.

Bersama anak orang utan lain seusianya, Boy tinggal di Samboja didampingi para pengasuh (keeper) agar tumbuh menjadi orang utan normal. Jika usia mereka telah matang, sekitar delapan tahun, anak orang utan ini dapat dilepaskan kembali ke habitat asalnya.

Di sekolah ini, anak-anak orang utan mempelajari semua keahlian yang diperlukan sebagai syarat pulang ke rumah mereka yang sebenarnya. Beberapa keahlian yang penting dimiliki orang utan, antara lain membuat sarang, mencari makan, dan mengenali bahaya. Selain melatih keahlian dasar orang utan, pertumbuhan fisik dan perkembangan mental orang utan diawasi dengan intensif.

Sekolah hutan yang ada di Samboja terdiri atas tiga tingkatan. Untuk anak orang utan belia seusia Boy, mereka masuk di tingkat pertama yang biasa disebut playground.

Pada tingkat ini, anak orang utan diajarkan cara berinteraksi dengan sesamanya lewat metode permainan. Tujuannya, menumbuhkan rasa percaya diri orang utan, sehingga tak canggung bila berinteraksi dengan kawanan orang utan lain di habitat alaminya.

Serupa dengan sekolah bagi manusia, sekolah hutan juga punya jadwal dan jam pelajaran. Setiap pagi mulai pukul 08.00 waktu setempat, kedelapan anak orang utan menjalani program belajar yang diasuh oleh 30 keeper. Menjelang sore, sekitar pukul 16.00, mereka kembali ke nursery untuk tidur.

Tapi namanya juga orang utan, melatih Boy dan teman-temannya jauh lebih sulit dibanding mengajar anak kecil. "Ketika ‘sekolah,’ mereka sering kabur dan bermain sendiri dengan benda yang ditemuinya,” kata Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), organisasi nonpemerintah yang mengelola Kawasan Konservasi Orang Utan Samboja.

Selain playgroup, ada pula sekolah hutan tingkat dua. Sekolah tingkat lanjut ini merupakan tempat latihan orang utan berusia pra-dewasa. Di sini mereka diperkenalkan dengan berbagai jenis makanan sekaligus cara mencarinya.

Berbagai aktivitas individual, seperti memanjat pohon berbatang besar dan tinggi, juga diajarkan di tingkat ini, termasuk membangun sarang sendiri di atas pohon.

Setelah "lulus" dari tingkat dua, orang utan dewasa yang telah berusia 7-8 tahun masuk ke sekolah hutan tingkat tiga. Tahap inilah yang menjadi penentu apakah orang utan layak dilepaskan atau tidak.

Pada tingkat ini, orang utan dilatih hidup sendiri. Ibarat mahasiswa universitas yang pada semester awal diberi kuliah berupa teori baru, kemudian pada tingkat akhir diwajibkan melakukan praktek kerja lapangan, orang utan yang duduk di tingkat tiga dibawa ke dalam hutan untuk menjalani "magang" hidup di alam liar.

Setiap orang utan yang bersekolah di Samboja harus lulus pada setiap tingkat sebelum bisa mencapai tingkat tiga. Mereka diajari cara membuat sarang dan lanjutan dari ilmu dasar sebelumnya.

Kurikulum yang diterapkan di sekolah hutan Samboja dibuat berdasarkan guideline yang disusun oleh organisasi orang utan internasional. Berbagai bentuk pendidikan yang diberikan di sini bertujuan membentuk orang utan menjadi mandiri dan mampu bertahan hidup di alam liar.

Pada 2015, Kementerian Kehutanan Indonesia menargetkan seluruh orang utan yang ada di tempat konservasi bisa dilepaskan kembali ke habitat asal mereka. Populasi primata endemis Kalimantan dan Sumatera ini tercatat hanya tinggal sekitar 51 ribu individu. Jumlah tersebut dianggap mengkhawatirkan. Namun pelepasan kembali orang utan ke hutan tidak segampang membuang kucing liar.

"Orang utan harus mempunyai kemahiran tertentu sebagai syarat bisa pulang ke rumah sebenarnya. Beberapa skill yang penting dimiliki orang utan, antara lain membuat sarang, mencari makan, dan mengenali bahaya,” kata Jamartin.

Batas usia hewan bernama latin Pongo pygmaeus ini untuk dilepaskan adalah delapan tahun. Namun tidak sedikit kasus orang utan tua yang berusia di atas 10 tahun harus tinggal di konservasi, karena kemampuan dasar untuk bertahan hidupnya sangat kurang.

Jamartin menyatakan banyak orang utan di Samboja yang punya masa lalu kelam, misalnya, dipelihara manusia atau menjadi hewan sirkus. Orang utan jantan bernama Bujang, yang telah berusia 18 tahun, adalah contohnya. Ketika diserahkan ke Samboja, kondisi Bujang menyedihkan. Meski sudah matang bereproduksi, yang ditunjukkan adanya gelambir di sekitar kepalanya, Bujang aseksual alias tidak tertarik pada orang utan betina ataupun jantan.

Manajer program BOSF, Aschta Tajudin, mengatakan latar belakang Bujang adalah hewan sirkus. Diperkirakan dia kerap mendapat perlakuan buruk, sehingga kendati usianya sudah tergolong tua Bujang sulit diajari dan cenderung memberontak.

Biaya yang diperlukan untuk menyekolahkan orang utan sangat mahal. Jamartin menyebutkan, untuk sekolah hutan tingkat ketiga ini, dibutuhkan biaya sekitar 8.000 euro. Biaya ini dialokasikan untuk perawatan orang utan dan upah para keeper. Untuk mendampingi orang utan yang sedang praktek hidup di tengah rimba, misalnya, dibutuhkan dua keeper yang bekerja selama 15 jam sehari. Mereka harus memantau perkembangan orang utan asuhannya sebagai indikator apakah si rambut merah ini layak dilepaskan atau tidak.

Di luar biaya "sekolah", biaya hidup orang utan yang dirawat di konservasi tidak murah. Dalam sebulan, diperlukan Rp 3,5 juta untuk satu orang utan. Sedangkan untuk orang utan yang tinggal di konservasi sejak bayi hingga berusia layak dilepaskan, dibutuhkan dana Rp 340 juta.

Boy beruntung. Sebab, ia baru saja diadopsi oleh Bridgestone Indonesia. Perusahaan pembuat ban ini menjadi orang tua asuh Boy dan satu orang utan lain di Samboja. Boy kini tak perlu risau soal masa depannya.

Namun masih ada sekitar 200 orang utan yang tinggal di konservasi Samboja. Nasib mereka memang ditentukan oleh diri mereka sendiri, apakah mereka bisa menjadi "murid" yang baik di sekolah hutan sehingga mempunyai kemahiran memadai sebagai bekal hidup di hutan kelak atau tidak. Tapi, kepedulian dari berbagai pihak tetap dibutuhkan untuk menjamin masa depan hewan asli Indonesia ini.

PRAGA UTAMA



Terpopuler:
Penjuakan Galaxy S3 Tembus 10 Juta

Ludes, Google Hentikan Pesanan Nexus 7 16GB

Mahasiswa UGM Temukan Alat Pelipat Baju

Dahlan Iskan Pesan Pembangkit Tanpa Bahan Bakar

Siap-siap Bentuk Baru MySpace

6,2 Miliar Nomor SIM Card Aktif di Dunia

Berita terkait

Nanda Jadi Kado Hari Orangutan Sedunia di Taman Safari Prigen

19 Agustus 2020

Nanda Jadi Kado Hari Orangutan Sedunia di Taman Safari Prigen

Orangutan dimanapun berada dicemaskan terdampak pandemi Covid-19 pada manusia.

Baca Selengkapnya

Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Darth Vader Isopod dari Indonesia

14 Juli 2020

Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Darth Vader Isopod dari Indonesia

Darth Vader Isopod ini ditemukan dalam survei pengambilan sampel laut dalam Ekspedisi Biodiversitas Laut Dalam Selatan Jawa.

Baca Selengkapnya

Bayi Dibuang Orangutan Diselamatkan Warga di Kotawaringin

14 Juli 2020

Bayi Dibuang Orangutan Diselamatkan Warga di Kotawaringin

Bayi orangutan berjenis kelamin jantan, usianya diperkirakan sekitar dua bulan. Kondisinya sehat.

Baca Selengkapnya

BBKSDA Melepasliarkan Orangutan ke Taman Nasional Gunung Leuser

7 Juli 2020

BBKSDA Melepasliarkan Orangutan ke Taman Nasional Gunung Leuser

Orangutan ini diselamatkan BBKSDA pada 18 Juni 2020 di Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Baca Selengkapnya

Suaka Margasatwa Lamandau Sambut Bayi Orangutan Pertama di 2020

1 Juli 2020

Suaka Margasatwa Lamandau Sambut Bayi Orangutan Pertama di 2020

Pancaran merupakan bayi orangutan pertama yang lahir di Suaka Margasatwa Lamandau pada tahun 2020.

Baca Selengkapnya

Tidur di Hutan, Makannya di Kebun, Orangutan Dibius Dievakuasi

30 Mei 2020

Tidur di Hutan, Makannya di Kebun, Orangutan Dibius Dievakuasi

Orangutan itu diadukan setelah memanfaatkan kebun sebagai lokasi mencari sumber makanan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Anies Ajak Warga Wisata Virtual Bersama Orangutan di IG Ragunan

30 Mei 2020

Anies Ajak Warga Wisata Virtual Bersama Orangutan di IG Ragunan

Anies Baswedan mengajak warga tonton orangutan secara live di Instagram Ragunan

Baca Selengkapnya

COVID-19, Orangutan Harus Social Distancing dari Manusia

11 April 2020

COVID-19, Orangutan Harus Social Distancing dari Manusia

Darurat kesehatan global COVID-19 juga mengancam kehidupan kerabat terdekat manusia yaitu kera besar.

Baca Selengkapnya

Antisipasi Corona, Pusat Rehabilitasi Orangutan BOSF Ditutup

17 Maret 2020

Antisipasi Corona, Pusat Rehabilitasi Orangutan BOSF Ditutup

Hingga saat ini belum ada kasus penularan virus corona COVID-19 dari manusia ke kera.

Baca Selengkapnya

Ulang Tahun Hope, Bayi Orang Utan di Kebun Binatang Gembira Loka

13 Maret 2020

Ulang Tahun Hope, Bayi Orang Utan di Kebun Binatang Gembira Loka

Bayi orang utan Hope berulang tahun di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta pada Rabu, 11 Maret 2020.

Baca Selengkapnya