TEMPO.CO, Jakarta - Sejauh ini, industri farmasi dan makanan yang menggunakan oleoresin cabai, memenuhi kebutuhan produk cabai olahannya masih mengimpor dari Cina. Ketergantungan ini karena Indonesia belum mampu mengembangkan produksi capai menjadi industri yang menghasilkan produk oleoresin.
Sebuah penelitian tentang ekstraksi cabai merah terhadap mutu dan rendemen oleoresin cabai telah dilakukan oleh mahasiswa Teknik Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (FTIP Unpad), Mir’ah pada 2012. Penelitian itu menyebutkan produksi cabai di Indonesia seringkali melebihi kapasitas panen, tapi tidak diimbangi dengan produksi cabai olahan atau oleoresin.
Oleoresin merupakan campuran antara resin (zat polimer berupa padatan lengket) dan minyak atsiri yang diperoleh melalui ekstraksi berbagai rempah- rempah dari daun, buah, biji maupun rimpang. Oleoresin bisa digunakan untuk industri farmasi dan makanan.
Hasil penelitian Mir’ah ini, direspon positif oleh salah satu alumni FTIP Unpad, Siti Nur Maftuhah. Ia melihat adanya peluang industri oleoresin bisa berkembang di Indonesia. Lalu, Mir'ah diajak bergabung mengembangkan industri oleoresin cabai.
“Industri di bidang ini kurang berkembang di Indonesia. Padahal hasil olahan cabai bermanfaat dan bisa digunakan untuk industri farmasi dan makanan,” kata Siti Nur Maftuhah, Sosial Entrepreneur, di Bandung Selasa, 19 Februari 2013. Sebagai penjajakan awal mereka memproduksi sekitar 131,44 gram oleoresin dari 15 kg cabai kering.