TEMPO.CO, Texas - Seorang pria berusia 61 tahun asal Texas, Amerika Serikat, bisa mabuk meski ia tidak mengkonsumsi minuman beralkohol apa pun. Setelah diselidiki ternyata ada jamur ragi yang bersarang di ususnya. Jamur ragi itulah yang memproduksi alkohol dengan kadar dan jumlah yang cukup tinggi.
Pria yang disembunyikan namanya itu didiagnosis menderita sindrom fermentasi usus. Kondisi ini terjadi akibat adanya jamur ragi Saccharomyces cerevisiae--biasa digunakan untuk fermentasi bir, anggur, dan tapai--hidup dalam ususnya lalu mengubah gula dan karbohidrat yang dikonsumsinya menjadi etanol.
Awalnya tak ada yang percaya pria itu bisa mabuk meski sebelumnya tak mengkonsumsi minuman beralkohol. Istrinya yang bekerja sebagai perawat akhirnya memeriksa pria itu menggunakan alat pendeteksi alkohol dalam napas.
Meski sang suami mengaku tak minum minuman beralkohol apa pun, ternyata kadar alkohol dalam darahnya mencapai 0,4 persen atau hampir lima kali lipat dari batas yang diizinkan dalam aturan mengemudi di Amerika Serikat.
Pria itu mulai mabuk tanpa sebab pada 2004 dan sempat dirawat di rumah sakit pada 2009. Kepada perawat, pria yang identitasnya disembunyikan itu bersikeras tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Namun petugas rumah sakit percaya bahwa dia adalah peminum berat.
Pada 2010 pria itu menjalani tes dan observasi di rumah sakit yang mewajibkannya tak menyentuh alkohol selama 24 jam. Anehnya, meski hanya makan kudapan, kadar alkohol dalam darah pria itu melesat hingga 12 persen.
Selanjutnya: Jamur ragi diprediksi berkembang di dalam ususnya.
<!--more-->
Jamur ragi diprediksi berkembang di dalam usus pria itu setelah ia mengkonsumsi antibiotik pada 2004. Pria itu lalu mendapatkan pengobatan anti-jamur dan mengkonsumsi suplemen berisi "bakteri baik" untuk mengatur kembali isi ususnya.
Dalam sesi terapi selama enam minggu, pria itu hanya mengkonsumsi makanan bebas gula, karbohidrat, dan alkohol. Kadar alkohol dalam darahnya pun turun hingga nol persen dan tak ditemukajejak si jamur ragi.
Laporan yang dibuat oleh peneliti Barbara Cordell dari Panola College di Carthage, Texas, dan Justin McCarthy, seorang gastroenterolog atau ahli penyakit perncernaan, menyebutkan bahwa fenomena itu tidak dikenal dalam dunia medis Barat.
"Hanya ada beberapa kasus serupa yang dilaporkan dalam tiga dasawarsa terakhir," tulis Cordell dalam laporannya, seperti dikutip laman Livescience dan CNN, Rabu, 25 September 2013.
Laporan yang dimuat dalam International Journal of Clinical Medicine menyebutkan bahwa sindrom fermentasi usus bisa terjadi akibat implikasi sosial seperti kehilangan pekerjaan, masalah dalam hubungan, stigma, hingga masalah hukum.
Meski jarang terjadi, Cordell dan McCarthy menyarankan agar petugas medis tak mengabaikan gejala sindrom itu atau laporan sejenis dari pasien.
LIVESCIENCE | CNN | GABRIEL TITIYOGA