Kolam Pelangi Bawah Laut, Warnanya Bak Batu Akik Kalimaya
Editor
Amri mahbub al fathon tnr
Rabu, 25 November 2015 23:01 WIB
TEMPO.CO, Santorini - Jauh di kedalaman Laut Aegea, sebuah kolam air seputih susu yang memendarkan kilau pelangi seperti batu akik kalimaya muncul dari kaldera gunung api Santorini. Kolam pelangi atau opalescent, yang dapat berganti warna tergantung sudut melihatnya tersebut, dinamai Kallisti Limnes. Dalam bahasa Yunani kuno, nama itu berarti "danau yang indah".
Danau yang belum pernah terlihat itu terungkap dari sebuah video yang direkam oleh sebuah robot selam pada 2012. Setelah hampir tiga tahun diteliti, ternyata kolam ini mengandung kadar karbon dioksida tinggi, yang membuat kerapatan air sangat tinggi dan cenderung mengumpul.
"Itu mirip dengan minuman 'hitam dan cokelat' yang tetap terpisah," kata Rich Camilli, peneliti di Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) dan pemimpin studi danau bawah laut ini. Minuman hitam dan cokelat adalah minuman dua lapis yang dibuat dengan mencampurkan bir hitam dan bir ringan. Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports.
Letusan gunung berapi Santorini pada 1600 sebelum Masehi, Camilli bercerita, menyapu bersih peradaban Minoan yang tinggal di sepanjang Laut Aegea. "Kini danau kawah gunung api itu dapat membantu kami mengungkap proses karbon dioksida bereaksi dengan air laut," ujar dia.
Pulau Santorini, atau Thira, sebetulnya adalah tepi sebuah kaldera besar yang tersisa dari letusan kolosal beratus tahun lalu. Aktivitas hidrotermal yang cukup tinggi, kata Camilli, terjadi di kaldera tersebut. Camilli dan rekan penelitiannya melakukan studi di tempat ini sejak 2012, setahun setelah kaldera menunjukkan aktivitas gunung berapi.
Camilli dan tim menggunakan dua kendaraan bawah air untuk mengambil sampel air di dalam kaldera. "Saat itulah kami menemukan danau itu di cekungan sepanjang dinding kaldera," kata dia.
Kolam air di dalam laut itu bukan hal yang aneh. Para peneliti pernah mengamati kolam air garam yang terpisah dari air laut di sekitarnya karena kandungan garam yang sangat tinggi. "Pada kolam ini, densitas danau yang lebih tinggi bukan didorong oleh garam," kata Camilli. "Kami yakin karbon dioksidalah yang membuat kerapatan air lebih tinggi dan membuatnya mengumpul menjadi danau."
Pengamatan ini agak membingungkan karena karbon dioksida yang dihasilkan aktivitas geologi itu semula dianggap akan membaur dengan air laut. Karbon dioksida bawah tanah dapat berasal dari magma atau dari gamping atau batu sedimen lain yang mendapat tekanan tinggi.
Karena kandungan CO2 tersebut, danau memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Kondisi itu menjadikannya rumah bagi organisme berbasis silica. Tubuh mikroskopisnya yang mirip kaca dapat menjelaskan mengapa danau berwarna mirip opal.
Temuan tersebut dapat membantu para peneliti memahami bagaimana aktivitas kaldera bawah laut. "Temuan juga dapat membantu ilmuwan memahami bagaimana laut dapat menangkap dan menyimpan karbon di bawah laut untuk memperbaiki perubahan iklim," ujar Camilli.
Beberapa ilmuwan mencetuskan gagasan untuk menangkap karbon dan menyimpannya di dasar laut untuk mencegahnya menuju atmosfer. Hanya, saran ini belum diteliti lebih jauh karena informasi mengenai aktivitas karbon bawah tanah masih sedikit, atau apa yang akan terjadi bila karbon merembes ke luar.
SCIENTIFIC REPORTS | AMRI MAHBUB