Hasil Riset: Kentut Sapi Salah Satu Penyebab Pemanasan Global

Reporter

Amri Mahbub

Editor

Amri Mahbub

Senin, 2 Oktober 2017 16:05 WIB

Sapi varietas Gatotkaca yang merupakan sapi Belgian Blue pertama di Asia Tenggara yang berhasil diternakan dipamerkan di Jambore Peternakan Nasional 2017, Ahad, 24 September 2017. Sapi ini diperkirakan mampu mengungguli sapi jenis Limosin dalam kuantitas

TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset terbaru ini mungkin akan jadi bahan tertawaan: kentut sapi berperan besar dalam pemanasan global. Lucu? Kedengarannya memang begitu. Namun, nyatanya emisi metana yang disebabkan oleh gas buangan sapi menjadi penyumbang utama pemanasan bumi. Penelitian baru ini menunjukan bahwa perkiraan emisi metana dari peternakan mungkin telah turun sekitar 10 persen.

Sapi menghasilkan metana sebagai produk alami dari pencernaannya. Metana adalah bagian besar dari apa yang disebut "efek rumah kaca" yang menyebabkan atmosfer lebih banyak menyerap panas matahari daripada memantulkannya kembali ke angkasa. Imbasnya, bumi kita memanas seperti oven. Karbon dioksida (CO2) adalah penyebab utama efek rumah kaca, namun metana juga merupakan zat yang mengikat panas, bahkan lebih baik dari CO2.

Temuan ini dipublikasikan di jurnal Carbon Balance and Management edisi 29 September 2017. Dalam sebuah program yang disponsori oleh inisiatif penelitian Carbon Monitoring System Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), para peneliti dari Joint Global Change Research Institute (JGCRI) menemukan bahwa emisi metana (CH4) global pada 2011 adalah 11 persen lebih tinggi dari perkiraan berdasarkan pedoman yang diberikan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 2006.

Baca: Hasil Riset: Mengapa Banyak Orang Dituding Ikut PKI Usai 1965

"Ini mencakup peningkatan 8,4 persen metana dari fermentasi enterik (pencernaan) pada sapi perah dan ternak lainnya. Juga, peningkatan pengelolaan pupuk metana sebesar 36,7 persen dibandingkan dengan perkiraan berbasis IPCC," tulis tim dalam artikel berjudul "Revised methane emissions factors and spatially distributed annual carbon fluxes for global livestock".

Advertising
Advertising

Ghassem Asrar, Direktur JGCRI, anggota studi mengatakan, di antara wilayah global, ada variabilitas yang menonjol dalam tren perkiraan emisi dalam beberapa dekade terakhir. "Kami menemukan bahwa total emisi metana ternak telah meningkat paling banyak di daerah berkembang pesat seperti Asia, Amerika Latin dan Afrika," kata dia.

Julie Wolf, peneliti dari US Department of Agriculture (USDA) yang anggota studi, menjelaskan, di beberapa wilayah, jumlah ternak selalu berubah-ubah dan berkembang biak lebih besar. Hewan dengan asupan makanan yang tinggi itu, dapat menyebabkan emisi metana jauh lebih tinggi. "Metana adalah moderator penting suhu atmosfer bumi," ujarnya.

Baca: Hasil Riset: Inilah Karyawan yang Kerap Berbohong

Simak artikel menarik lainnya tentang hasil riset terbaru dan pemanasan global hanya di kanal Tekno Tempo.co.

GEARSOFBIZ | MORNING TICKER | ZUL’AINI FI’ID N.

Berita terkait

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

3 hari lalu

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Baca Selengkapnya

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

4 hari lalu

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.

Baca Selengkapnya

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

13 hari lalu

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

Dubai terdampak badai yang langka terjadi di wilayahnya pada Selasa lalu, 16 April 2024.

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

18 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

35 hari lalu

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

Fenomena penguapan air dari tanah akan menggerus sumber daya air di masyarakat. Rawan terjadi saat kemarau.

Baca Selengkapnya

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

42 hari lalu

Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

AMAN mengidentifikasi belasan masyarakat adat di IKN Nusantara dan sekitarnya. Mereka terancam rencana investasi proyek IKN dan dampak krisis iklim.

Baca Selengkapnya

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

42 hari lalu

13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

Studi hujan salju di masa depan mengungkap ladang ski dipaksa naik ke dataran lebih tinggi dan terpencil. Ekosistem pegunungan semakin terancam.

Baca Selengkapnya

Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

43 hari lalu

Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

Kajian peneliti BRIN menunjukkan potensi kekeringan esktrem di IKN Nusantara dan wilayah lainnya di Kalimantan pada 2033-2050. Dipicu perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

45 hari lalu

Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

Keramaian dan banyak teman di sekitar ak lantas membuat orang bebas dari rasa sepi dan 40 persen orang mengaku tetap kesepian.

Baca Selengkapnya

Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

45 hari lalu

Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

Cukup banyak kerusakan yang telah terjadi di Laut Cina Selatan, di antaranya 4 ribu terumbu karang rusak.

Baca Selengkapnya