BPPT: Penggunaan Energi Nuklir di Indonesia Terlambat
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Amri Mahbub
Kamis, 27 September 2018 08:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan penggunaan energi nuklir di Indonesia terlambat. Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa implementasi energi nuklir untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) harus segera mungkin dimulai. Menurut dia, untuk menikmatinya butuh waktu pembangunan yang sangat panjang.
Baca juga: DPR Buat RUU Energi Terbarukan untuk Nuklir
"Beberapa bulan lalu saya berkunjung ke Cina untuk melihat fasilitas nuklir yang bisa dikelola universitas, sebetulnya itu salah satu bukti bahwa nuklir yang model HTGR atau nuklir generasi keempat kedepan itu jauh lebih aman," ujar Eniya setelah hadir dalam acara Launching, Bedah Buku dan Diskusi Nasional BPPT di Auditorium BPPT, Jakarta Pusat, Selasa, 25 September 2018.
Energi nuklir merupakan penggunaan terkendali atas reaksi nuklir guna menghasilkan energi panas, yang digunakan untuk pembangkit listrik. Penggunaan nuklir untuk kepentingan manusia saat ini masih terbatas pada reaksi fisi nuklir dan peluruhan radioaktif.
Baca juga: Perkembangan Kedokteran Nuklir, Dosis Radioaktif Lebih Spesifik
Energi nuklir, Eniya melanjutkan, salah satu potensi yang perlu digenjot. Eniya setuju untuk mendongkrak penerapan energi baru terbarukam (EBT) sampai digenjot 23 persen harus segera dimulai. Karena, kata dia, sudah tertunda sejak tahun 2009.
"Padahal kita kalau mulainya sekarang itu akan menikmatinya baru 30 tahun ke depan. Jadi masih lanjang, sebetulnya kita harus sesegera mungkin mengenalkan nuklir ini," tambah Eniya. "Kalau dari segi perspektif yang berbeda, saya sangat setuju dengan implementasi secepat mungkin. Karena untuk model yang generasi keempat itu, menghasilkan by product gas hidrogen. Kalau kita sudah menghasilkan itu, menjadi solusi untuk energi baru yang ramah lingkungan untuk transportasi dan sebagainya."
Saat ini, Cina telah mendongkrak 54 unit pembangkit listrik tenaga nuklir, 25 sudah dikerjakan. Eniya berpendapat berdasarkan pengalamannya studi di Jepang, baru Cina yang berani menerapkan itu, sementara di Jepang masih menunggu bukti nuklir generasi keempat.
Baca juga: Insinyur Lokal Perlu Belajar Energi Nuklir yang Aman ala Jepang
"Sementara Eropa dan Amerika baru mulai membuktikan keamanannya dan itu sistemnya jauh lebih mudah. Jika melihat Cina, 100 megawatt yang dari nuklir itu skala kecil dan bisa diadopsi oleh universitas. Artinya, ini kan salah satu bukti bahwa sebetulnya kita bisa menggunakan itu," tambah Eniya.
Peraih BJ Habibie Tecnology Award itu menjelaskan, model mini nuklir juga sudah dikaji oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (batan). Kemungkinan, menurut Eniya, bisa diterapkan di tempat-tempat lain, misalnya beberapa pulau yang bisa dipakai, aman bisa adobtable dan diterima masyarakat.
Sementara Kepala BPPT Unggul Priyanto menjelaskan bahwa semua yang digunakan itu mengandung risiko, termasuk nuklir. Yang paling penting itu, kata Unggul, meminimalisir resikonya. "Semua apa kita gunakan mengandung risiko, enggak ada yang bebas risiko termasuk batubara, karena bisa saja meledak. Yang paling penting meminimalkan risikonya, misalnya PLTN, ya kita harus cari tempat yang jarang ada gempa tsunami dan yang kemungkinan kecil risikonya," kata Unggul.
Meskipun ada energi alternatif seperti panas bumi, solar dan hidro, Unggul berpendapat bahwa ketiga energi itu kecil porsinya. "Enggak bisa digenjot besar seperti batu bara, karena penggunaannya yang 70 persen, total 20 ribu megawat itu memakai batu bara, tidak ada yang mampu menggantikannya selain nuklir," tambah Unggul.
Baca juga: BATAN: Listrik dari Tenaga Nuklir Menghemat Pembayaran 50 Persen
Simak artikel menarik lainnya tentang energi nuklir dan kabar terbaru dari BPPT hanya di kanal Tekno Tempo.co.