Bayi Komodo Selundupan Berasal dari Flores Utara, Bukan TNK

Reporter

Teras.id

Editor

Yudono Yanuar

Rabu, 29 Mei 2019 03:08 WIB

Sejumlah bayi komodo (varanus komodensis) yang baru menetas, berada di dalam kandang ruang karantina Kebun Binatang Surabaya, 19 Maret 2015. Sebanyak 12 butir telur dari jumlah total 29 telur komodo, telah menetas secara bertahap selama periode 21 Februari hingga 7 Maret 2015. TEMPO/FULLY SYAFI

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan asal-usul enam komodo (Varanus komodoensis) yang diperdagangkan secara ilegal bukan berasal dari Taman Nasional Komodo atau TNK, melainkan dari Flores Utara.

Baca juga: Polisi Ungkap Penyelundupan Bayi Komodo Lewat Perdagangan Online

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno mengatakan informasi genetis tersebut diperoleh setelah pelaksanaan uji DNA di laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Secara genetik berbeda, walau spesiesnya sama. Enam ekor biawak komodo bukan berasal dari Taman Nasional, melainkan dari northern coastal Flores,” kata Wiratno dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 27 Mei 2019.

Baca Juga: Perdagangan Ilegal Gading Gajah di Pati Terbongkar, Nilainya Ratusan Miliar

Advertising
Advertising

Sebelumnya pada Februari dan Maret 2019, tujuh pelaku perdagangan ilegal satwa liar ditangkap di Surabaya dan Jakarta. Dari penangkapan tersebut, kepolisian menyita sejumlah barang bukti seperti enam bayi komodo (Varanus komodoensis), binturong (Arctictis binturong), musang, serta burung langka, termasuk kakatua dan kasuari.

Tujuh pelaku tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2019 dan saat ini ditahan di Polda Jawa Timur. Ketujuhnya disinyalir bekerja dalam jaringan perdagangan ilegal yang sama dan telah melakukan aktivitas ilegal selama kurang lebih tiga tahun.

Pada April 2019, Wiratno mengatakan bahwa grup tersebut telah menjual 41 ekor komodo selama periode 2016-2019. Grup tersebut menjual komodo kepada pembeli baik di dalam maupun luar negeri; yang menjadikan biawak langka tersebut sebagai hewan peliharaan eksotis.

Namun, meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, Wiratno belum bisa mengkonfirmasi perihal sanksi yang akan dijatuhkan kepada kelompok ilegal tersebut. Sebagai informasi, perdagangan ilegal satwa liar diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, dengan ancaman pidana maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar.

“Putusannya belum sampai pada tahap itu,” ujar Wiratno.

Rencana pelepasliaran

Hingga saat ini enam bayi komodo yang disita masih dalam karantina di Polda Jatim. Belakangan, melalui tes DNA, keenamnya juga diketahui berjenis kelamin betina. Hal itu dikonfirmasi oleh Peneliti Bidang Zoologi dan Reptil LIPI Evi Arinda yang masuk dalam tim uji laboratorium satwa tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Evi menganjurkan agar keenam bayi komodo tersebut dilepasliarkan ke habitat asalnya. Menurutnya, di habitat asalnya kebutuhan bertahan hidup satwa tersebut seperti berenang dan memanjat sangat penting sehingga harus segera dikembalikan ke rumahnya.

“Usulan kami nanti dilepasliarkan ke tempat asalnya, yakni Flores Utara,” kata Evi.

Namun Wiratno memiliki pendapat yang berbeda. Dia mengatakan bahwa KLHK berencana untuk melepasliarkan enam komodo tersebut ke lokasi yang berbeda. Alasannya, untuk mencegah terjadinya penangkapan kembali oleh masyarakat atau pelaku perburuan satwa liar komodo.

“Akan dilepasliarkan bukan ke tempat aslinya (tempat ditangkap), tapi ke hutan lindung. Supaya masyarakat tidak tahu lokasinya, dan tidak ditangkap karena dianggap hama,” kata Wiratno.

“Kemungkinan akan dilepaskan ke Pulau Ontoloe yang termasuk di dalam Taman Wisata Alam Laut Riung 17 Pulau, Kabupaten Ngada. Itu daerahnya masih terjaga. Kalau dikembalikan ke tempat asal, tidak ada jaminan,” tegasnya.

Populasi terkini

Wiratno kembali menegaskan bahwa satwa liar komodo tidak hanya terdapat di wilayah Taman Nasional Komodo saja. Menurutnya, reptilia besar tersebut tersebar secara alami hidup di kepulauan dan daratan Flores, dengan persebaran mulai dari Flores bagian barat hingga ke TWA Riung 17 Pulau.

Berdasarkan hasil monitoring tahun 2018, diperkirakan terdapat 2.897 ekor komodo di Taman Nasional Komodo, tersebar di lima pulau besar yakni Pulau Komodo (1.727 ekor), Pulau Rinca (1.049 ekor), Pulau Padar (enam ekor), Pulau Gilimotang (58 ekor), dan Pulau Nusa Kode (57 ekor).

Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTT melalui camera trap mengamati, terdapat lebih dari 30 individu komodo di daratan Flores selama rentang 2013-2018. Rinciannya, di CA Wae Wuul (14 ekor), Pulau Ontoloe (enam ekor), Hutan Lindung Pota (enam ekor), dan Pulau Longos (11 ekor).

BETAHITA | TERAS

Berita terkait

Orangutan Ini Obati Sendiri Lukanya dengan Daun Akar Kuning, Bikin Peneliti Penasaran

19 jam lalu

Orangutan Ini Obati Sendiri Lukanya dengan Daun Akar Kuning, Bikin Peneliti Penasaran

Seekor orangutan di Suaq Belimbing, Aceh Selatan, menarik perhatian peneliti karena bisa mengobati sendiri luka di mukanya dengan daun akar kuning

Baca Selengkapnya

Ada Harimau Sumetera hingga Komodo, Inilah 5 Hewan Endemik Asal Indonesia

3 hari lalu

Ada Harimau Sumetera hingga Komodo, Inilah 5 Hewan Endemik Asal Indonesia

Setidaknya ada 612 hewan endemik asal Indonesia dari berbagai jenis, seperti mamalia, burung, reptil, hingga amfibi. Berikut lima di antaranya.

Baca Selengkapnya

Tersangka Kasus Perdagangan Satwa Dilindungi di Makassar Segera Jalani Persidangan

10 hari lalu

Tersangka Kasus Perdagangan Satwa Dilindungi di Makassar Segera Jalani Persidangan

Saat ini kejahatan perdagangan satwa dilindungi kerap dilakukan melalui media online.

Baca Selengkapnya

Masukkan Sektor Laut Dalam Second NDC, KLHK: Ekosistem Pesisir Menyerap Karbon

11 hari lalu

Masukkan Sektor Laut Dalam Second NDC, KLHK: Ekosistem Pesisir Menyerap Karbon

KLHK memasukkan sektor kelautan ke dalam dokumen Second NDC Indonesia. Potensi mangrove dan padang lamun ditonjolkan.

Baca Selengkapnya

Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca, KLHK Prioritaskan Pembatasan Gas HFC

11 hari lalu

Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca, KLHK Prioritaskan Pembatasan Gas HFC

Setiap negara bebas memilih untuk mengurangi gas rumah kaca yang akan dikurangi atau dikelola.

Baca Selengkapnya

Ditarget Rampung Tahun Ini, Begini RUU KSDAHE Beri Ruang Dukungan untuk Konservasi Internasional

17 hari lalu

Ditarget Rampung Tahun Ini, Begini RUU KSDAHE Beri Ruang Dukungan untuk Konservasi Internasional

Rancangan Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau RUU KSDAHE ditarget segera disahkan pada tahun ini.

Baca Selengkapnya

Temuan Baru Anak Badak Jawa di Ujung Kulon, KLHK: Masih Banyak Ancaman

26 hari lalu

Temuan Baru Anak Badak Jawa di Ujung Kulon, KLHK: Masih Banyak Ancaman

Temuan individu baru badak Jawa menambah populasi satwa dilindungi tersebut di Taman Nasional Ujung Kulon. Beragam ancaman masih mengintai.

Baca Selengkapnya

Kualitas Udara Jakarta dan Sekitarnya Membaik, Gara-gara Mudik Lebaran?

26 hari lalu

Kualitas Udara Jakarta dan Sekitarnya Membaik, Gara-gara Mudik Lebaran?

Selama tiga hari terakhir, bersamaan dengan mudik lebaran, 11 stasiun pemantau kualitas udara Jakarta dan sekitarnya mencatat membaiknya level ISPU.

Baca Selengkapnya

Turut Dipicu Pasar Tumpah, Tambahan Sampah H-1 Lebaran di Depok Bisa Mencapai 180 Ton

26 hari lalu

Turut Dipicu Pasar Tumpah, Tambahan Sampah H-1 Lebaran di Depok Bisa Mencapai 180 Ton

Sampah di Depok diprediksi bertambah hingga 180 ton dari hari biasa pada malam Lebaran. Muncul dari pasar tumpah.

Baca Selengkapnya

KLHK: Ada Potensi Sampah 58 Juta Kilogram dari 2 Minggu Arus Mudik dan Balik Lebaran

29 hari lalu

KLHK: Ada Potensi Sampah 58 Juta Kilogram dari 2 Minggu Arus Mudik dan Balik Lebaran

KLHK menghitung potensi sampah hingga 58 juta kilogram dari mobilitas 193,6 juta penduduk dalam periode dua minggu arus mudik dan balik Lebaran 2024.

Baca Selengkapnya